Alarm Subuh yang telah di-snooze berkali-kali akhirnya berhasil membangunkan saya untuk segera solat dan cuci muka di air yang dinginnya seperti air es. Saya sangat bergegas karena pagi ini saya bertekad untuk melihat sunrise dari Hutan Mati, walaupun tidak ada yang mengantar, toh tidak terlalu jauh dan sepertinya petunjuk jalannya cukup jelas. Ketika wudhu saya sempat melihat di ufuk timur sudah tampak rona-rona kemerahan, aaaah payah sepertinya saya kesiangan!
Setelah kembali ke tenda saya membangunkan teman-teman untuk mengajak melihat sunrise yang ternyata gagal. Mereka lebih menikmati berada dalam hangatnya tenda dan sleeping bag ah payah sekali. Akhirnya saya berhasil membujuk dua orang teman dan kami pun sempat berlari-lari kecil karena khawatir melewatkan moment. Kami sempat tergoda untuk ke puncak bergabung dengan rombongan tetangga, tetapi karena sepertinya waktu tidak mencukupi kami mengurungkan niat dan tetap pada tujuan utama yaitu : Hutan Mati.
Petunjuk jalan yang terpampang sangat jelas, jadi tidak perlu khawatir tersasar, apalagi Hutan Mati adalah area terbuka jadi tidak akan terlalu mengacaukan navigasi terlebih kami kesana pada pagi hari. Langkah-langkah kaki kami pun semakin melebar seiring dengan menguningnya semburat warna di ufuk timur. Di kejauhan tampak deretan pada pendaki siap menikmati pagi.
Alhamdulillah kami sampai tepat waktu, kami berada di dataran tepat di atas kawah Papandayan. Di depan kami terhampar jurang yang cukup dalam menuju kawah. Di ufuk timur sang mentari tersenyum menyambut kami para pendaki yang bersemangat pagi itu untuk menikmati terbitnya hari. Allahu Akbar! Indahnya
Matahari terbit di antara gumpalan awan lembut dan puncak beberapa gunung yang mengintip di antara awan, terlihat pula puncak Gunung Cikuray di kejauhan. Wajah saya sembab seperti orang menangis, ternyata saya alergi debu vulkanik, hehehe. Saya terlalu bersemangat pagi itu sampai baru menyadari lupa memakai kacamata dan masker, ah pantas saja. Di ufuk barat pun masih tampak full moon sisa semalam yang sepertinya masih enggan untuk meluncur turun, ah indahnya tidak terkira.
Setelah puas menikmati moment matahari terbit kami pun menjelajah hutan mati dan menikmati ke-mistis-an yang ditawarkan oleh batang-batang pohon Cantigi yang telah terbakar mati akibat erupsi Gunung Papandayan dan mengering. Mempesona dan anggun. Deretan batang-batang hitam legam seperti akar terbalik yang berdiri kokoh di atas tanah putih abu vulkanik. Eksotis!
Hari semakin siang, kami bertiga beranjak untuk turun karena harus bergegas pulang. Persimpangan menuju Tegal Alun sangat menggoda. Ya, Tegal Alun sebuah dataran luas yang merupakan padang bunga Edeilweis terluas di Jawa Barat akan kami lewatkan begitu saja karena waktu yang sangat terbatas. Maaf Tegal Alun, saya tidak sempat mampir, hiks.
Turun ke Pondok Saladah kami menyiapkan makan pagi, yang mudah saja : mie instant! Hahaha, yang penting perut kenyang sebelum melakukan perjalanan pulang yang cukup panjang. Setelah beres-beres dan bersih-bersih kami pun bersiap pulang melewati trek kemarin dengan urutan terbalik. Perjalanan turun kami habiskan lebih cepat yaitu cukup dua jam saja. Setelah beristirahat sejenak di Camp David, kami pun meluncur turun dan siap menuju Ibukota.
See you goodbye Papandayan, I'll be back to visit Tegal Alun someday! Aamiin..
Foto : Dokumentasi Pribadi
Mortal |
![]() |
Eksotisme Hutan mati |
![]() |
Breathtaking beautiful |
![]() |
Hello Sunshine! |
![]() |
Rembulan yang sepertinya enggan pulang |
![]() |
Numpang duduk |
![]() |
Edeilweis yang sempat kami temui dekat Pondok Saladah, cukup ini saja |
![]() |
Pulang! |
Foto : Dokumentasi Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar