![]() |
Dini hari
Waktu Indonesia
Bagian Gubeng
Setelah lebih dari 14 jam terkungkung dalam sebuah
kotak besi yang bertolak dari Stasiun Jakarta Kota pukul 11 siang bernama
Gaya Baru Malam. Sebagian orang memaknai perjalanan ini dengan istilah keren dan trendi : backpacker. Entah mengapa mereka
sebut perjalanan ini sebagai backpacker atau
sejenisnya, ingin terlihat lebih trendi, keren, gaul atau bahkan ingin
terkesan lebih genit (Taufan, 2012). Pastinya perjalanan ini merupakan
spontanitas dari pikiran yang sempit, tanpa tedeng aling-aling dan tanpa
bertele-tele dengan syarat pengeluaran harus diminimalkan seminimal mungkin bahkan jika bisa
sampai titik batas minimal. Inilah istilah genit dari kata “backpacker”, menyadari realita bahwa miskin atau pelit???Entahlah…
Penakut!!! Tiba di Gubeng larut malam menyurutkan
niat kami
untuk menikmati sisa malam di selasaran stasiun, hingga akhirnya kami memutuskan untuk menyewa sebuah penginapan. Bah!!!
Perjalanan macam apa ini? Bagaimana kami dapat memaknai sebuah perjalanan
jika pada akhirnya tubuh ini direbahkan pada kasur yang empuk? Manjaa!!!
Bagaimana kami bisa disebut backpacker dan menggunakan istilah genit
tersebut,
jika pengeluaran untuk penginapan saja hampir menghabiskan 30% dari anggaran dana. Inilah realita
ketika melakukan sebuah perjalanan dan tips agar
selalu menyediakan dana tidak terduga yang besarnya
100% dari anggaran yang disediakan. Catat kawan!!!
Subuh menyahut seiring suara alarm dari handphone, waktu menunjukkan pukul 5 lewat belasan menit. Ambil wudhu, shalat subuh kemudian tidur lagi.
Berharap dendam terhadap kasur yang puluhan jam tertahankan, bisa terbayar tunai malam ini, tentunya sekaligus
memaksimalkan fasilitas yang sudah menghabiskan dana terbatas kami untuk menyewa penginapan ini. Nasib…
Keesokan pagi
setelah check out, perjalanan dimulai
kembali dengan mengunjungi Monumen Kapal Selam. Pikiran yang muncul di benak saya ketika itu adalah bagaimana kapal selam yang begitu
besarnya dapat terdampar di daratan?
Apakah kisah ini terinspirasi dari kisah sangkuriang
yang menjadikan perahunya terbalik sehingga dinamakan Tangkuban Parahu? Terkaan yang mungkin tidak masuk di akal memang, tapi ah sudahlah ini hanya sedikit pikiran liar
yang hadir di alam bawah sadar saya untuk mengalihkan perhatin dari peluh yang membasahi tubuh.
Jelasnya, monumen kapal selam ini
dibangun atas ide “sesepuh” kapal selam untuk mengingat
keberanian para TNI AL dalam mengarungi lautan, yang juga berperan dalam
operasi pembebasan Irian Barat dan Perang Timor Timur. Itulah sedikit cerita
bagaimana akhirnya ikatan “batin” antara saya dengan Kapal Selam ini terbentuk.
Kunjungi saja tempat ini untuk kemudian bernostalgia bagaimana para pahlawan kita
mempertahankan kemerdekaan dan memukul mundur para penjajah. Jika masih kurang
puas anda dapat menyaksikan teater khusus KRI Pasopati 410 di teater khusus
yang disediakan pihak pengelola. Sayang saya malah asyik tertidur di teater
yang dingin dan gelap tersebut. Hidup Kota Pahlawan!!!
Pukul 02.00
siang hari kereta tujuan Banyuwangi akhirnya tiba di Stasiun Gubeng. Kami akan melanjutkan perjalanan untuk tiba di
tujuan akhir sekitar 6-7 jam. Tidak banyak yang dapat
dilakukan di dalam kereta selain melihat aktivitas orang lain. Seperti ibu yang rela duduk dibawah kursi kereta
demi anaknya tertidur pulas dikereta, mendengarkan percakapan baru dari orang
yang sebelumnya tidak saling mengenal, sampai melihat teman saya sibuk sendiri dengan gadget android-nya (maklum saya belum mempunyai hape secanggih tersebut kala itu).
Ketenangan saya
sedikit terganggu ketika banyak orang melihat ke arah luar jendela. Ternyata kereta ini sedang melewati tanggul-tanggul yang menahan
semburan lumpur. Namakan saja tanggul lumpur Sidoarjo, saya tidak bisa melihat dengan jelas
fenomena semburan lumpur tersebut karena tanggulnya yang begitu tinggi dan
kokoh. Saya hanya berharap musibah ini segera berakhir dan semoga korban dari
musibah ini dapat terakomodir dengan sangat baik oleh pemerintah maupun dari
perusahaan terkait. Semoga. Aamiin.
Pukul 08.00
malam kereta kami tiba di Stasiun Blambangan, Banyuwangi. Rawon hangat
nan nikmat menyambut kami, ah sudah lewat waktu makan malam ternyata. Menurut
informasi yang kami dapatkan ketika menyantap rawon, terdapat
kamar kosong yang bisa kami singgahi jika ingin istirahat. Hanya dengan Rp.
35.000 kami
sudah mendapat fasilitas twin bed,
kipas angin, dan kamar mandi luar disertai dengan tingkah laku luwak yang
seolah-olah mencari perhatian kami yang baru saja tiba. Sederhana itu indah…
Keesokan pagi setelah menyewa motor di Pasar Blambangan, kami bergegas menuju Taman
Nasional Baluran yang terkenal sebagai
Africa van Java. Sayang disini tidak ada singa, cheetah,
ataupun hyena yang dengan
kesangarannya menambah “kegersangan” Afrika yang terkenal dengan WildLife-nya. Kesangaran yang kami temui di Taman Nasional Baluran ini hanyalah tertuju pada kumpulan tengkorak banteng yang disusun secara horizontal dan
vertikal untuk menandai bahwa kita sudah sampai di Savana Bekol dengan background Gunung Baluran yang gagah.
Apa daya kami hanya disambut oleh
binatang-binatang lemah lembut seperti rusa dan kerbau, hahaha bahkan kucing pun ikut menyambut kedatangan
kami.
Berdasarkan informasi dari pengelola Taman Nasional Baluran, hewan buas disini hanya macan
tutul dan anjing hutan. Itupun bisa
bertemu di waktu-waktu tertentu saja. Jika beruntung,
kita dapat menyaksikan macan tutul berburu rusa di taman nasional ini pada musim
kawin.
Tak jauh dari
Savana Bekol, mungkin sekitar 4-5 km terdapat Pantai Bama, sebuah pantai yang sering menjadi tempat berkumpul keluarga
sambil bersantai menikmati suasana pantai serta “bersilaturahmi” dengan nenek
moyang kita menurut Teori Evolusi Darwin. Ah, sangat tidak masuk akal teori
itu, hanya sebuah bentuk teori “maksa” karena hanya berdasarkan pengamatan
terhadap evolusi burung di kepulauan Galapagos dan hanya
berkutat pada seleksi alam dan Mutasi Genetik. Padahal Allah pada surat At -Tiin : 94 berfirman bahwa
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya”
Di Surat lainnya yakni Al-Isra : 70 Allah juga berfirman
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Wallahu Alam.
Setelah Pantai Bama dan sedikit bercengkrama dengan para “sesepuh”, kami
melanjutkan perjalanan menuju Kawah Ijen. Kami sempat singgah sebentar di
gardu yang dibangun di pinggir pantai (maaf saya lupa nama gardunya), untuk sejenak melihat
dari kejauhan Pulau Bali dengan eksotisme, romantisme, dan budayanya. Menurut warga, dari pelabuhan Gilimanuk dibutuhkan waktu
sekitar 2 jam
perjalanan untuk mencapai Pusat Kota Bali. Entahlah kali itu saya tidak terlalu berminat untuk ke sana.
Di sepanjang
perjalanan,
kami disuguhkan oleh perkebunan kopi yang ditanam oleh penduduk sekitar kaki Gunung Ijen. Tampak hasil panen kopi mereka jemur di
pinggir jalan raya untuk dikeringkan.
Sederhana saja, karena aspal jalan raya lebih cepat
menyerap panas dan menyebabkan kadar air dalam kopi lebih cepat menguap. So simple.
Menjelang sore, kami tiba di paltuding yang merupakan pos awal pendakian menuju Kawah Ijen. Kami merencanakan pendakian pada malam hari untuk melihat blue
fire yang konon hanya ada dua di dunia yaitu di Islandia dan di Indonesia.
Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati. Hanyalah semilir angin menusuk tulang yang
menjadi pasangan terbaik dengan secangkir kopi yang sudah tidak hangat ini. Fabiayyi Alaa’I Rabbi Kuma Tukadziban…
Pukul 01.00 dini hari setelah semua
persiapan selesai, kami mulai mendaki dengan perlahan. Perlu dicatat kami hanya membawa
sebotol air berukuran 1,5 Liter, belum sampai puncak air ini sudah menguap bersama dinginnya
Ijen. Saran
saya bawalah masing-masing cadangan air minimal dua botol yang berukuran 1.5
liter per orang untuk menjaga dehidrasi tubuh ketika melakukan pendakian. Dan yang sangat penting untuk diingat adalah beristirahatlah
jika memang lelah sambil tubuh beraklimatisasi dengan suhu sekitar. Well noted!!!!!
Puncak bukanlah akhir tujuan ini sebab kami harus
turun menuju bibir kawah untuk dapat menyaksikan fenomena langka Blue Fire yang terkenal itu. Dalam perjalanan kami disuguhkan oleh
pemandangan yang luar biasa dari para penambang belerang. Menantang maut, tanpa
asuransi, risiko
menghirup racun akibat gas sulfur, itupun belum resiko terluka akibat
tergelincir di bebatuan yang tajam. Para penambang ini harus mengangkut
belerang yang beratnya 50-100 kg melalui tanjakan curam serta jalanan berbatu
dari bibir kawah menuju paltuding.
Masya Allah,
perjuangan hidup hanya untuk dapat memberi nafkah anak dan istrinya, dan kalian harus tahu berapa harga
per kg dari belerang ini dijual kepada pengepul. Hanya Rp.3000 - Rp.5000 per kg tanpa
asuransi jiwa. Kawan, jika anda berkunjung ke ijen, sapalah para penambang ini dengan senyuman yang
tulus bahkan lebih baik lagi jika anda dapat memberi sebatang atau dua batang
rokok hanya untuk membangun ikatan persaudaraan antara kita dengan mereka dan antara kita
dengan Ijen.
Karena bagi mereka Ijen sudah seperti “oksigen” yang membuat mereka dapat bernafas
bahkan sudah menjadi suatu religi bagi warga disana. Tanpa ijen mereka tidak
akan bisa berkumpul dengan keluarga, tanpa ijen mereka tidak akan bisa bertani,
tanpa ijen mereka tidak akan bisa menambang, dan tanpa ijen mereka tidak akan
TERSENYUM. Maka, tersenyum dan teruslah bersyukurlah kawan.
Ada kutipan
menarik dari blog http://midjournal.com/2014/12/memaknai-perjalanan
yang berkata bahwa perjalanan tak selalu berarti bepergian ke tempat yang jauh jaraknya.
Perjalanan mungkin saja hanyalah mendatangi sebuah tempat yang setiap hari
dilewati, tetapi tak pernah terekam oleh mata. Perjalanan adalah usaha mengenal
diri sendiri sejauh-jauhnya, melakukan apapun untuk bertemu dengan sosok-sosok baru yang
menyegarkan walaupun kadang mereka tak nyata.
Pada intinya
perjalanan adalah sebuah momentum untuk dapat merangkai nuansa baru di dalam
hidup kita. Nuansa yang tidak hanya dapat kita nikmati sendiri, akan tetapi oleh orang
lain. Perjalanan merupakan hakikat dari berbagi. Ya, berbagi sapa, senyum, dan
berbagi cerita kepada yang lain. Perjalanan tidak hanya diabadikan dengan
sebingkai foto selfie, we-fie atau
sejenisnya, akan tetapi perjalanan merupakan rangkaian batiniah kita dengan
Allah SWT. Mensyukuri apa yang Allah ciptakan dan bertafakur atas keindahan
yang telah Allah ciptakan kepada kita agar kita dapat mengambil hikmah dari
setiap ciptaan yang Allah ciptakan.
“Maka tidakkah mereka mengadakan perjalanan
di muka bumi sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang
sebelum mereka ; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang
kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS. 47:10).
Kawan apakah kalian hanya ingin
hidup nyaman sedari kecil, pintar di sekolah, lulus, kemudian masuk perguruan
tinggi ternama, bekerja di perusahaan bonafid, lalu menikahi istri cantik, sesudah itu mati?
Ayolah, hidup butuh warna (Taufan, 2012).
Subang, 31 Agustus 2015 Pukul 17.09
Sembari menunggu gaji esok hari
Foto : http://www.deanseddon.com/sometimes-its-the-journey-that-teaches-you-a-lot-about-your-destination/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar