Dari Museum Bank Indonesia saya melangkah menyusuri jalan menuju Jembatan Merah, penasaran seperti apa saksi sejarah pertumpahan darah antara pejuang dan penjajah pada era kolonial Belanda. Jembatan Merah melintasi sungai Kalimas dan menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun (kawasan pecinan) yang walaupun merupakan kawasan Old City tetapi masih dijadikan kawasan perniagaan Surabaya. Di jembatan merah inilah lokasi Brigadir A.W.S Mallaby, pemimpin angkatan bersenjata Inggris tewas terbunuh di tangan arek-arek Suroboyo. Jembatan ini juga merupakan saksi bisu keberanian arek-arek Suroboyo melawan tentara sekutu dalam perang 10 November yang hingga saat ini diperingati sebagai hari Pahlawan.
 |
Jembatan Merah yang melegenda |
Selepas Jembatan Merah saya menghampiri salah satu becak untuk minta diantarkan ke Museum Kesehatan atau biasa disebut Museum Santet karena terdapat pula koleksi benda-benda yang digunakan untuk santet, ngeri juga ya. Bapak pemilik becak menawarkan untuk berkeliling di kota tua sambil melihat-lihat situasi jalan. Di sebuah Klenteng, becak kami berhenti. Bau abu hio semerbak menusuk hidung, ternyata jika akhir minggu klenteng ini memang ramai dikunjungi untuk beribadah. Ternyata klenteng ini merupakan klenteng Hok An Kiong, klenteng tertua di Surabaya. Berlokasi di Jalan Cokelat, klenteng ini didirikan sejak tahun 1830 oleh Hok Kian Kong Tik, perkumpulan orang Tionghoa asal Hok Kian.
 |
Klenteng Hok Kian Kiong |
Tidak ingin mengganggu khusyuknya ibadah, becak kami melaju ke arah kompleks kota tua. Kompleks ini berupa gedung-gedung 2 lantai yang kebanyakan saat ini digunakan sebagai kompleks bank asing. Tampak banyak sekali muda-mudi sedang melakukan pemotretan di beberapa titik. Bapak becak (ah saya lupa menanyakan namanya), menawarkan saya untuk berhenti dan berfoto di beberapa spot, karena cukup ramai saya menolak dan hanya mengambil foto di sebuah rumah tua yang menarik perhatian saya. Rumah ini tampak tertutup rapat, di bagian pintu depannya terdapat tulisan "Rumah Sembahyang Keluarga The Goan Tjing".
 |
Jalanan yang sangat sepi di hari libur |
Tidak terdengar terdapat aktivitas di dalam, sepertinya saat itu memang sedang kosong. Menurut bapak becak, rumah ini adalah rumah sembahyang keluarga untuk memperingati dan menghormati leluhur dari keluarga The. Sering disebut rumah abu karena banyaknya abu hasil pembakaran hio, rumah ini didirikan pada tahun 1884 oleh The Goan Tjing, seorang mayor Tionghoa di Surabaya. Konon, di dalamnya tersimpan papan nama arwah leluhur, bukan kuburan ataupun abu jenazah yang sering dibicarakan.
 |
Penampakan Rumah Abu The |
Becak melaju melintasi kota tua kemudian ke arah Tugu Pahlawan, sebelum sampai di Tugu Pahlawan di kiri jalan terdapat sebuah bangunan megah berwarna putih bernama The Crown Restaurant. Katanya pada saat zaman Belanda gedung tersebut digunakan sebagai bioskop yang sangat populer. Di depan Tugu Pahlawan becak berhenti, Bapak becak menyuruh saya untuk mampir turun dan berfoto, katanya tak masalah beliau menunggu. Tidak enak membuat menunggu lama, apalagi tujuan saya sebetulnya adalah Museum Kesehatan. Jadi, hanya berfoto sebentar yang di siang terik itu kawasan sangat ramai. Bapak becak juga menunjukkan di seberang jalan terdapat sebuah makam leluhur Surabaya yang sering sekali ramai dikunjungi para peziarah. Nama leluhur tersebut adalah Mbah Kyai Sedo Masjid yang gugur tertembak saat perlawanan hebat mengagalkan niat pemerintah Belanda untuk mengambil alih tanah masjid untuk dibangun kantor peradilan.
 |
Tugu Pahlawan dari gerbang barat |
Sebelum Museum Kesehatan, di kanan jalan terdapat sebuah Mesjid berwarna hijau, nama mesjid ini unik karena tidak berbahasa Arab. Namanya Mesjid Kemayoran yang merupakan satu-satunya mesjid yang dibangun oleh pemerintah Belanda dan merupakan salah satu mesjid tertua setelah Mesjid Ampel, sayang tidak sempat mampir, hehehe. Dulu lahan dibangunnya mesjid merupakan lahan milik tentara angkatan darat Belanda berpangkat mayor, oleh sebab itulah mesjid ini dinamakan Mesjid Kemayoran.
Sampai di lokasi Museum Kesehatan, seorang security dari kejauhan memanggil, katanya museum tutup di hari Minggu. Ah, sedihnya. Tidak ada rencana lagi, akhirnya kami berbalik ke House of Sampoerna melalui jalan Kalisosok untuk mencari makan siang. Di belakang HoS terdapat sebuah warung soto lamongan yang walau warungnya kecil tapi pengunjung sangat ramai, wah pertanda baik. Ternyata sotonya enaaaaaaaaaaak, irisan daging ayamnya pun besar-besar dan harganya sangat murah, Rp. 9.000 semangkuk! Saya pun mengucapkan terima kasih kepada Bapak becak yang sudah dengan senang hati dan sabar mengajak saya keliling kota.
Foto :
Dokumentasi Pribadi
Boleh tahu biaya becaknya berapa? Saya ada rencana mau ke surabaya bulan depan :)
BalasHapusKebetulan waktu itu saat saya tanya berapa, bapaknya bilang "terserah mbak saja" hehe agak sulit memang. Bisa berikan di kisaran 20-40k mungkin ya. Semoga membantu :)
Hapus