Sabtu, 05 September 2015

Papandayan : The Land of Cantigi

Cantigi..

Nama yang pertama kali saya kenal dari teman yang sering mendaki gunung, oh ternyata nama anaknya yang paling kecil. Diberi nama Cantigi agar kelak bisa tumbuh cantik, kuat dan bisa menjadi pelindung, seperti pohon Cantigi. Cantigi (Vaccinium varingiaefolium) punya julukan Manis Rejo (Jawa) dan Delima Montak (Kaltim) merupakan tumbuhan yang dapat ditemukan hampir di semua gunung di Indonesia. Sangat kuat dan mampu bertahan hidup di kondisi ekstrem seperti di Gunung Papandayan yang sangat kering, berbatu dan dekat dengan tanah belerang yang beracun. Ya, pohon Cantigi inilah yang akan ditemui sepanjang perjalanan mendaki Gunung Papandayan. Saya kurang paham bagaimana kalau di gunung lain karena ini merupakan pendakian pertama, saya cukup takjub karena sejauh mata memandang Cantigi is everywhere. So, i called Papandayan : The Land of Cantigi.

Land of Cantigi
Pada trek pertama, kami dihadapkan jalanan berbatu dengan kiri dan kanan dihiasi pohon Cantigi yang cukup rimbun. Kemudian semakin mendekati kawah, trek akan semakin gersang dan tidak ada pepohonan. Bebatuan terjal siap menghadang perjalanan, oleh sebab itu kita sangat disarankan untuk menggunakan sepatu trekking, selain memudahkan ketika berpijak tentunya untuk menghindari kaki terluka. Kalau tidak salah memang ada larangan jika hanya menggunakan sendal gunung, karena cukup membahayakan.

Trek pertama untuk pemanasan
Matahari semakin terik dan menyilaukan mata, lensa kacamata saya semakin menghitam pertanda bahwa tingkat UV sangat tinggi. Jalanan semakin gersang dan terjal, bau aroma belerang sudah semakin tercium berarti sudah semakin dekat dengan kawah Papandayan. Gunakanlah masker untuk melindungi organ pernapasan karena bau belerangnya sangat menyengat, selain itu juga membantu melindungi dari debu pasir yang gersang. 

Kawah Papandayan semakin dekat
Jalanan semakin menanjak dan cukup curam, kami sempat beristirahat beberapa kali untuk sekedar menarik napas dan minum. Beberapa teman berjalan duluan agar ketika kami sampai tenda sudah didirikan, aaah baik sekali. Selama perjalanan kita harus berhati-hati karena banyak sekali motor trail  berlalu lalang. Kebanyakan memang penduduk sekitar yang memiliki warung di atas, tetapi ada juga beberapa yang memang melintas untuk menyalurkan hobi motor trail.

Jalanan yang semakin terjal dan curam
Sampailah kami di seberang kawah Papandayan, tampak asap putih mengepul dari celah bebatuan kuning belerang. Di situ juga mengalir air panas yang membentuk sungai hingga ke bawah. Tidak lama kami memandangi kemegahan kawah Papandayan karena tidak kuat dengan bau belerang yang menusuk serta udara yang semakin panas. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Di ujung jalan menanjak terdapat area datar yang cukup luas, terdapat beberapa warung untuk jajan dan istirahat sejenak sambil memandangi Kawah Papandayan dari atas. Namun kami tidak tergoda untuk beristirahat, karena lebih tergoda melanjutkan perjalanan, penasaran dengan apa yang akan kami hadap di depan. 

Kawan Papandayan
Trek selanjutnya cenderung mendatar dan menurun, serta lebih rimbun, alhamdulillah akhirnya nemu juga jalanan yang rimbun hehehe. Di ujung jalanan menurun kita akan menemukan sungai yang mengalir jernih, kami pun berhenti sekedar untuk merasakan segarnya air pegunungan dan mengisi beberapa botol air minum.

Sumber air sudekat

Perjalanan pun dilanjutkan dengan trek yang terus menerus menanjak, kali ini dengan pijakan berupa tanah berdebu. Saya pun memakai kembali masker yang semula sudah saya lepas, tak tahan dengan debunya. Kacamata pun cukup membantu agar mata tidak kemasukan debu. Napas kami sudah mulai kacau seiring semakin curamnya jalanan yang dilalui. Sering-seringlah beristirahat sambil berpegangan pada kokohnya batang pohon Cantigi. Di suatu jalan teman saya menawarkan pilihan trek yang lebih curam tapi cepat sampai atau trek biasa. Ketika melihat pilihan pertama, saya langsung mantap menggelengkan kepala, hahaha, mungkin nanti saja dicoba ketika turun.

Diagonal Queue
Setelah melalui jalan tanah berdebu kami dihadapkan dengan trek selanjutnya yaitu jalanan yang lebar berbatu. Tampak beberapa warung jajanan dan pegadang cilok menjajakan dagangannya di sini. Beberapa teman pun sempat berhenti untuk jajan, kami pun menepi di bawah pohon rindang. Sekedar meluruskan kaki sambil menikmati bayangan Gunung Cikuray di kejauhan. Saya pun sempat takjub dengan beberapa rombongan yang membawa anak kecil bahkan ada yang masih baby. Luar biasa.

Mt Cikuray through my eyes!
Sampailah kami di Lawang Angin, sebuah lorong sempit yang diapit oleh tebing tinggi, jika dilihat dari kawasan kawah memang seperti pintu gerbang masuk. Ketika melewati Lawang Angin rasanya sangat dingin dan adem, mungkin dinamakan seperti itu karena di tempat ini ada perpindahan udara yang mengalir. Setelah melewati Lawang Angin kita akan menemukan pos kedua, tampak tanah yang cukup luas mendatar dengan warung-warung di beberapa sisi. Kami beristirahat sejenak. Di pos ini terdapat persimpangan jalan, ke arah kanan menuju Tegal Panjang, lurus menuju Pangalengan dan kiri menuju Pondok Saladah. Hmm, sepertinya sedikit lagi sampai, kami pun beranjak menuju Pondok Saladah, trek nya masih sama yaitu tanah berdebu yang sempit dengan sisi kanan dan kiri Pohon Cantigi. 


Trek tanah berdebu, siapkan masker!
Voila! Setelah 3 jam berjalan kaki, sampailah kami di Pondok Saladah yang siang itu sudah ramai dengan tenda berwarna-warni. Kami pun mencari teman kami dan alhamdulillah tendanya sudah didirikan, ah senangnya. Pondok Saladah ini merupakan sebuah dataran luas dan digunakan sebagai tempat camp, di sisinya pun mengalir sungai Cisaladah yang airnya selalu mengalir deras sepanjang tahun. Di Pondok Saladah banyak sekali berdiri warung-warung yang menyediakan segala kebutuhan terutama makanan. Toilet dan musholla pun tersedia dengan air yang mengalir deras, hanya saja memang harus antri hingga 30 menit karena sangat ramai. 
Suasana Pondok Saladah
Dengan fasilitas yang sangat lengkap ini rasanya Gunung Papandayan memang stage 1 untuk pendaki pemula seperti saya, hehehehe alhamdulillah. Kami pun beristirahat dan mengeluarkan makanan masing-masing untuk potluck sambil berbincang hangat dan menikmati suasana Pondok Saladah yang semakin sore semakin ramai.

Foto : Dokumentasi Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar