Minggu, 20 September 2015

Explore Malang : Maze Runner Gagal & Hujan di Coban Rondo

Motor melaju menuju kawasan Coban Rondo, sang pemuda bertanya dimanakah saya akan turun. Saya sampaikan bahwa saya ingin ke air terjun kemudian tak lama motor pun menepi. Pemuda itu bilang sudah sampai, saya agak bingung karena tidak terlihat ada tanda-tanda air terjun. Ia pun menunjuk ke salah satu arah, katanya "jalan ke sana saja mba, tidak jauh". Saya memberikan selembar uang dan mengucapkan terima kasih karena telah bersedia mengantarkan.

Hmm, sepertinya saya tersesat
Kaki saya melangkah ke arah hutan, rasanya agak aneh karena tidak ada petunjuk jalan menuju air terjun dan lokasinya lumayan sepi. Beruntung di depan tampak seorang ibu sedang mengarit rumput, saya berhenti dan bertanya. Beliau tersenyum, katanya saya salah arah karena kawasan hutan ini adalah area perkemahan sedangkan Coban Rondo yang saya ingin datangi jauhnya masih sekitar 4 km lagi ke arah berlawanan. Hmm, baiklah. Ibu itu menyarankan saya naik ojek lagi di warung-warung depan perkemahan. 

Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi Batu setelah diterpa mentari yang sangat terik, tangan saya serta merta mengembangkan payung. Setelah menemukan warung dan beberapa orang yang sepertinya jasa ojek, saya mengurungkan niat ke air terjun dan memilih berjalan ke arah saya tadi datang menggunakan motor. Sepertinya saya melewatkan sesuatu.

Sekitar 10 menit berjalan kaki saya menemukan kawasan Labirin Coban Rondo yang konon sedang hits di dunia Instagram. Selain taman labirin, di kawasan ini juga terdapat area outbond, sepeda gunung, rumah anggrek, wisata memberi makan hewan dan wisata berkuda. Membayar Rp.10.000 saya pun mulai menjajal taman labirin, walaupun sendirian tapi saya menikmatinya, yaaa anggap saja sedang berlari-larian seperti Thomas dan Minho berkejaran dengan Bulb di film Maze Runner. Tiba-tiba hujan deras pun turun, hahaha Maze Runner gagal!

Awas ada Bulb!
Hujan deras tidak serta merta mengurungkan niat saya menyelesaikan maze demi maze demi menemukan pintu keluar. Setelah 3x berkeliling, saya mulai hafal pola maze dan target berikutnya adalah menemukan air mancur di tengah labirin. Lelah berputar-putar terus, akhirnya saya menyerah hahaha tidak berhasil menemukan air mancur. Hujan semakin deras tidak tertahan membuat saya keluar dari labirin dan mampir untuk naik ke menara pandang. Dari menara ini akan terlihat dengan jelas seperti apa pola maze dan terlihat air mancur berada di pusat labirin.

Labirin Coban Rondo
Hujan mereda, saya tetap penasaran dengan air terjun Coban Rondo. Sudah jauh-jauh datang kesini sayang sekali kalau tidak mampir. Saya menghampiri tukang parkir dan menanyakan apakah ada yang bisa mengantarkan saya ke air tejun, beliau pun memanggil temannya yang alhamdulillah bersedia mengantarkan. Motor pun kembali meluncur dan tiba-tiba di tengah perjalanan, hujan turun kembali dan kali ini sangat lebat. Lokasi air terjun ternyata lumayan jauh dan harus melewati hutan, kami tidak bisa menepi karena tidak ada tempat berteduh. Baju kami sudah basah kuyup, saya sempat panik karena tidak bawa baju ganti sedangkan baru bisa berganti baju nanti malam di penginapan. Saya berdoa semoga tidak sampai masuk angin dan baju bisa segera kering di badan, hehehe.

Ramainya Coban Rondo
Bapak ojek meminta maaf karena saya basah kuyup, saya hanya tertawa mengiyakan dan meminta maaf juga karena beliau pun nyatanya lebih basah daripada saya karena menerjang hujan di depan. Kami pun sampai di lokasi air terjun Coban Rondo yang siang itu sangat ramai oleh pengunjung. Tampak parkiran dipadati oleh mobil-mobil pribadi dan bus-bus wisata. Hujan belum kunjung reda, sang bapak mengajak saya untuk berteduh di pos informasi, lumayan ada bangku empuk hehehe. Kami pun sempat berbincang-bincang sambil menunggu hujan mereda. Hujan pun berhenti. Saya dengan semangat 45 mohon ijin untuk melihat Coban Rondo, bapak ojek pun bersedia untuk menunggu untuk mengantarkan saya pulang.

Coban Rondo yang melegenda
Coban Rondo yang memiliki ketinggian 84 meter ini dikelilingi oleh tebing-tebing cadas nan tinggi. Saat saya datang, debit airnya luar biasa sangat deras, maklum sehabis hujan lebat. Dari kejauhan saja saya sudah bisa merasakan cipratan airnya ke tubuh, dingin. Di beberapa lokasi terdapat papan peringatan agar pengunjung berhati-hati. Bahkan terdapat peringatan untuk tidak mendekati air terjun selama musim penghujan. 

Peringatan
Coban dalam bahasa Jawa berarti air terjun dan Rondo berarti Janda, air terjun ini memang memiliki kisah legenda mengenai Dewi Anjarwati yang menjadi seorang janda di usia pernikahannya yang baru menginjak 36 hari. Konon, batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasibnya.

Papan Legenda Coban Rondo
Puas menikmati Coban Rondo dari kejauhan, saya kembali ke pos dan menemui bapak ojek yang masih setia menunggu. Saya minta diantarkan ke kota untuk melanjutkan perjalanan naik kendaraan umum menuju Taman Selecta. Setelah memberikan beberapa lembar uang, beliau membantu saya memberhentikan bis yang selanjutnya akan membawa saya ke arah kota. Terima kasih bapak sudah bersedia menemani dan berbasah kuyup dengan saya :)

Hari itu saya belajar lagi, masih banyak orang-orang baik di sekitar kita yang bersedia membantu ketika kita kesulitan, bahkan yang belum pernah kita kenal sebelumnya.

Foto : Dokumentasi Pribadi

Explore Malang : Omah Kayu dan Petir

Selain wisata paralayang, di kawasan Gunung Banyak juga terdapat suatu objek wisata yang menarik yaitu Omah Kayu yang terletak tidak jauh dari flying point paralayang. Berjalanlah ke arah utara di tengah rimbunnnya pepohonan pinus, anda akan menemui pintu gerbang menuju Omah Kayu. Untuk masuk ke kawasan ini akan dikenai tiket seharga Rp. 5.000. Omah Kayu yang berarti rumah dari kayu merupakan suatu kawasan wisata yang terdiri atas rimbunnya hutan pinus di lereng Gunung Banyak yang di beberapa pohonnya terdapat rumah-rumah yang terbuat dari kayu berukuran 3 x 3 meter. Biasanya orang datang kesini untuk sekedar foto-foto sambil menikmati Kota Batu dari atas pohon maupun menginap di rumah pohon. Bagi wisatawan yang hendak menginap di Omah Kayu dapat melakakukan reservasi dengan biaya per malam sebesar Rp. 350.000 di hari biasa dan Rp. 450.000 di hari libur. Fasilitas di dalamnya cukup lengkap, walaupun kecil tapi terdapat tempat tidur sampai pemanas air.

Omah Kayu
Setiap rumah pohon hanya boleh ditempati oleh maksimal 3 orang saja karena kekuatannya terbatas. Kebetulan siang itu rumah pohon sangat ramai, jadi saya tidak sempat untuk naik ke salah satu rumah. Namun, selain di rumah pohon kita juga bisa menikmati pemandangan Kota Batu di bawah rimbunnya pepohonan pinus karena disediakan bangku-bangku taman yang nyaman. Saya pun membuka beberapa perbekalan menikmati sepaket pemdangan di depan mata yaitu parasut-parasut yang berterbangan, Kota Batu dari kejauhan dan Gunung Panderman yang berdiri kokoh sambil menyapa beberapa orang yang berlalu lalang.

Gunung Panderman, Kota Batu dan Paralayang
Jika cuaca sedang kurang baik, wisatawan diharuskan mematikan handphone karena kawasan ini sangat riskan dengan petir. Beberapa waktu lalu memang sempat terjadi kecelakaan yaitu beberapa wisatawan yang sedang berteduh dari hujan tersambar petir karena menyalakan handphone. Oleh sebab itu lah banyak sekali tanda-tanda peringatan di beberapa pohon agar wisatawan lebih berhati-hati.

Peringatan bagi pengunjung
Matahari semakin meninggi, saya kembali ke kawasan paralayang dan cukup kebingungan pulang karena ternyata tidak ada transportasi untuk turun, hahaha, konyol. Saya pun mencari info kepada petugas parkir yang alhamdulillah beliau mau membantu saya mencarikan jasa ojek. Tak lama seorang pemuda datang kepada saya dan bersedia mengantarkan saya turun. Saya meminta untuk diantarkan ke Coban Rondo yang katanya lokasinya tidak begitu jauh, sekalian jalan maksudnya, hehehe. Pemuda itu pun setuju dengan tawar menawar Rp.20.000 akan diantarkan ke Coban Rondo. Motor pun meluncur turun mengantarkan saya tujuan berikutnya.

Foto : Dokumentasi Pribadi

Sabtu, 19 September 2015

Explore Malang : Terbang di Ketinggian 1315 mdpl

Tali sling dan perlengkapan terbang sudah terpasang dengan mantapnya di badan saya. Parasut berwarna kuning cerah itu pun sudah dilebarkan, terikat kuat di badan kami, siap untuk dikembangkan dan diterbangkan mengikuti aliran udara yang bergerak perlahan. Pikiran saya mengawang. Sudah tidak bisa mundur lagi.

"Gimana sudah siap?"

Suara ramah Mas Ardi sang pilot memecah kekosongan saya. Saya tertawa tetap dengan kondisi panik sambil istighfar berkali-kali melihat ketinggian di hadapan saya. Takut. 

Berlari menyusuri lembah ini sebelum terbang
Sebelum terbang, sang pilot mem-brief sedikit mengenai teknik persiapan terbang, ketika terbang dan ketika mendarat. Persiapan terbang, kami diharuskan berlari turun ke arah lembah dan tidak boleh berhenti berlari sampai parasut terkembang dan terbang. Saat terbang, posisi badan duduk di tali sling dan ketika mendarat kaki diluruskan. Saya mengangguk, anggap saja mengerti walaupun belum terbayang hahaha.

"Setelah hitungan ke-3, kita lari bareng yah!"

Saya mengangguk. Bismilalhirrahmanirrahim, lindungi kami ya Allah.

Kami berlari kencang menuruni lembah, jantung rasanya berdetak 5x lebih cepat dari biasanya, saya berteriak kencang karena tidak mampu menahan aliran adrenalin yang terus-terusan mengalir. Tanpa disadari kaki sudah tidak menapak tanah. OH I'M FLYING!!

Happy feet!! When my feet we're not on the ground
Begitu cepat sampai saya tidak sadar parasut sudah mengembang di atas kepala kami dan perlahan-lahan mengikuti angin. Kini kami sudah berada 300 m di atas permukaan tanah Kota Batu dan 1315 m di atas permukaan laut. Pemandangan di atas ketinggian yang sangat luar biasa pun terhampar indah di hadapan kami. Saya memegang handphone dengan tangan gemetar, mencoba untuk mengabadikan apa yang dilihat saat itu. Satu kali saya melihat ke arah bawah, ke arah kaki yang tidak menapak, serius, menakutkan, jangan lakukan lagi, lihat saja lurus ke arah depan, itu lebih baik rasanya.

Kota Batu dari atas parasut kami
Gunung Banyak merupakan salah satu tempat paralayang terbaik di Indonesia, karena pola angin yang stabil jadi memungkinkan kita terbang setiap saat. Waktu terbaik untuk terbang disini adalah pagi sampai siang hari. Terletak di Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kota Wisata Batu Gunung Banyak memiliki pemandangan alam yang indah. Konon sering dijuluki lokasi paralayang dengan predikat bintang empat karena disini semua bisa terpenuhi dari mulai pemandangan yang ciamik, akses ke lokasi yang mudah dan memiliki fasilitas umum yang lengkap.

Gunung Panderman berdiri kokoh
Ketika parasut sudah terbang stabil, rasa takut pun sirna perlahan. Saya mulai menikmati sensasi terbang sambil melihat lanskap menawan di hadapan mata. Sang pilot pun menawarkan diri untuk melakukan manuver yang dengan cepat saya iyakan. Beberapa kali parasut kami di jatuhkan kemudian diterbangkan kembali kemudian dijatuhkan kembali. Rasanya luar biasa, perut pindah ke dada, jantung pindah ke kepala, kepala di kaki, kaki di kepala. Saya berteriak, antara kegirangan dan ketagihan hahaha.

Manuver di atas persawahan
Kurang lebih selama 15 menit kami berputar-putar di udara, kini saatnya mendarat. Cukup sebentar, ah entahlah mungkin durasinya relatif. Bagi yang ketakutan mungkin saja 15 menit akan terasa seperti 15 tahun, tapi untuk saya 15 menit rasanya singkat sekali yaaa walaupun sempat panik luar biasa di awal, hehehe. Di hadapan kami terhampar lapangan hijau yang cukup luas yang tengahnya merupakan bagian berisi pasir berbentuk lingkaran yang merupakan spot mendarat. Ah, saya berdoa semoga pendaratan kami mulus dan tidak nyasar.

Just landed
Kaki saya luruskan siap untuk mendarat dan voila saya sudah terduduk dengan manis di hamparan pasir hitam, kami sudah mendarat! Saya berterima kasih kepada sang pilot, setelah berfoto-foto ria dan berbincang dengan beberapa wisatawan saya berlari ke pinggir lapangan untuk berteduh. Matahari siang pagi itu teriknya luar biasa. Saya duduk di saung bambu di bawah pohon di pinggir lapangan sambil menikmati aktivitas dan lanskap di hadapan. Menunggu ojek yang akan mengantarkan saya kembali ke atas Gunung Banyak.

Yeah, i did it well!
Sekitar 30 menit kemudian saya sudah sampai kembali di atas untuk mengambil tas dan sertifikat. Setelah berpamitan dengan tim paralayang dan makan mie di salah satu warung, saya pamit untuk berjalan-jalan di sekitar area paralayang ke arah Omah Kayu.

Bagi yang berminat untuk melakukan tandem paralayang bisa menghubungi :

Tim Ayo Kita Kemon
Mas Surya (0818337051)

dan bersiaplah untuk terbang!

Foto : Dokumentasi Pribadi

Minggu, 13 September 2015

Explore Malang : Panic Attack at Gunung Banyak

Pukul 06.00 saya sudah rapi dan wangi, sudah siap untuk berpetualang seharian penuh. Target saya hari ini adalah melakukan paralayang di Gunung Banyak. Paralayang? Iya, itu olahraga terjun payung dari atas gunung. Berani? Hmmm, jalanin saja dulu, kalau sampai lokasi ternyata nyalinya ciut yasudah tak perlu dipaksakan, hehehe minimal cukup bermain-main di lokasi paralayang di Gunung Banyak saja sudah cukup. Sebelum melangkah keluar, saya bertanya kepada staff hotel arah ke Kota Batu, Mas Fendi menyarankan saya untuk sewa motor saja karena lebih hemat dan lebih mudah, jadi bisa mengakses tempat-tempat jauh. Saya hanya tertawa dan pamit untuk jalan. Iya, saya sampai sekarang tidak berani mengendarai motor, main sepeda saja masih sering parnoan apalagi motor, payah ya..

Paralayang Gunung Banyak
Saya melangkahkan kaki sambil menghirup udara pagi bermodal GPS di handphone kesayangan, maklum buta arah dan sangat kacau di navigasi. Sambil celingak celinguk mencari sarapan, mata saya tertuju pada gerobak soto campur dan langsung memesan satu porsi dengan nasi. Pagi itu jalanan masih sangat sepi sekali, saya pun menghabiskan soto yang menghangatkan perut. Setelah membayar seharga Rp.10.000 saya bertanya kepada bapak penjual soto dimanakah saya harus naik angkutan umum jika hendak ke Terminal Landungsari. Beliau mengarahkan saya untuk jalan lurus nanti naik angkot dekat alun-alun besar.

Setelah sampai di alun-alun besar saya memberhentikan angkot berwarna biru, sebelum naik pastinya saya bertanya dulu jangan sampai nyasar. Ternyata salah angkot, hahaha sang supir mengarahkan untuk berjalan sampai pertigaan kedua lalu naik angkot ke arah terminal Landungsari. Angkutan umum di Malang ini cukup unik karena tidak menggunakan angka, tetapi menggunakan kode misalnya tujuan Landungsari kodenya LDG. Untuk orang awam sih agak sulit sebetulnya membedakannya, jadi memang baiknya bertanya dulu daripada tersesat.

Angkot menuju Landungsari pun meluncur, ternyata cukup jauh karena Terminal Landungsari terletak di utara Kota Malang. Sampai di terminal saya harus melanjutkan perjalanan menggunakan bis kecil bernama Puspa Indah ke arah Songgokerto. Sebelum masuk bis, saya sempat-sempatnya mampir ke pos polisi untuk menumpang ke kamar kecil, maklumlah perjalanan masih jauh. Bapak-bapak polisi itu pun tertawa melihat saya terburu-buru masuk toilet. Tak lama saya pun sudah berdiri di bis Puspa Indah dengan masih bermodal GPS di tangan, bis pun melaju ke arah Kota Batu dengan jalanan yang terus menanjak. Bis sempat masuk ke dalam terminal kecil di Kota Batu (maaf saya lupa namanya) untuk menaik-turunkan penumpang kemudian melanjutkan perjalanan lagi ke arah Songgokerto.

Sebelumnya saya sudah menghubungi salah satu kontak operator paralayang di Gunung Banyak, saya menyampaikan bahwa akan pergi sendiri dan tidak membawa kendaraan, jadi lumayan sekali mereka sangat membantu navigasi saya menuju ke lokasi. Saya diberi tahu untuk turun tepat di Indomaret Songgokerto, nanti akan ada tim yang menjemput, alhamdulillah baiknyaaaaaa...

GPS pun menandai saya harus segera turun, tepat di Indomaret Songgokerto saya langsung mengontak Mas Surya dan menginformasikan bahwa saya sudah sampai. Tak sampai 10 menit, 2 motor trail pun berhenti di depan saya. Seorang pria berambut gimbal menyapa ramah. Mas Surya pun mengenalkan saya dengan pilot yang akan membawa saya terbang yaitu Mas Ardi. Hello, strangers! Nice to know you all..

Motor pun meluncur di jalanan aspal menanjak, saya diboncengi oleh Mas Ardi dengan motor trail nya yang cukup ngebut, heuheu. Sebetulnya untuk masuk ke kawasan Gunung Banyak dikenai tiket masuk Rp. 5000 di pintu gerbang utama, tapi karena saya datang bersama sang pilot jadi bablas saja, hahaha. Kawasan Gunung Banyak didominasi oleh pohon-pohon pinus dan cemara, jadi udaranya sangat sejuk. Sedikit berbincang di motor, akhirnya kami sampai di lokasi paralayang yang pagi itu sudah sangat ramai. Sebelumnya memang saya sempat diinfokan bahwa akan ada rombongan yang datang hari itu sebanyak 50 orang yang akan terbang, tapi karena saya sudah booking jauh-jauh hari jadi saya akan diutamakan, mantap.

Siap terbang, bukan saya
Baru sampai, saya langsung mendaftar di pos pendaftaran seharga Rp. 350.000. Sayang disini tidak disediakan dokumentasi, jadi wisatawan yang akan terbang baiknya membawa alat dokumentasi masing-masing. Setelah mendaftar, saya pun berkeliling melihat-lihat pemandangan sekitar lokasi, sambil menyiapkan diri dan membiasakan diri dengan ketinggian. Lalu kemudian tak lama nama saya dipanggil, Mas Ardi melambai-lambai di kejauhan tanda saya sudah harus bersiap. Wah, saya belom siap! hahahaha..

Saya hanya bisa tertawa, panik..

Ya saya akan dibawa terbang oleh sang pilot profesional..

Hanya menggunakan tali dan parasut..

Di ketinggian 1315 mdpl dan 300 meter di atas permukaan tanah..

Di kota apel..

Foto : Dokumentasi Pribadi

Explore Malang : Beautiful Wedding & Hujan Deras

Hujan deras menghujani bumi kota apel sore itu, membasahi tanah setelah diterpa matahari yang terik. Mobil kami meluncur ke lokasi resepsi pernikahan Qolby & Ayu di kawasan Kota Araya, Malang. Tak lama kami sampai, hujan pun berhenti, alhamdulillah doa para pengantin sepertinya diijabah Allah agar hujan segera berhenti. Maklum saja pergelaran acara mereka adalah semi outdoor party, yang akan kerepotan dan harus menjalankan plan B jika hujan tidak kunjung reda.

Beautiful outdoor decoration
Acara pun dimulai, karena merupakan private party jadi hanya segelintir kerabat saja yang hadir. Acara ramah tamah pun berlangsung akrab dengan kedua mempelai yang tidak serta merta hanya duduk di pelaminan, tetapi mingle dengan para undangan. Di akhir acara kami diberikan balon untuk dilakukan pelepasan secara bersama-sama di lokasi outdoor di samping restoran, oh nice!

Siap melepas balon
Setelah berpamitan dengan kedua mempelai, saya melanjutkan perjalanan dengan Pak Yoni menuju lokasi penginapan saya di kawasan Pasar Besar Malang. Rencana semula, saya akan jalan-jalan malam di sekitar kawasan alun-alun besar, tapi sayang sekali saat itu alun-alun besar sedang direnovasi sehingga ditutup. Hari mulai gelap dan hujan deras kembali turun.

Setelah menurunkan bagasi, Pak Yoni pun pamit. Saya mengucapkan banyak terima kasih karena telah ditemani selama sehari penuh dari Surabaya menuju Malang. Banyak sekali percakapan dan pelajaran berharga yang bisa saya ambil dari pengalaman hidup Pak Yoni. Beliau pun berpesan jika saya datang kembali ke Surabaya, beliau siap menemani. Alhamdulilah.

Penginapan ini bernama Hotel Malang, karena berlokasi di Pasar Besar dan tidak terlihat seperti hotel, jadi mungkin agak sulit menemukannya. Memang terlihat agak tua dan spooky tapi cukup bersih dan nyaman, kasurnya pun cukup besar, ada TV, kipas angin dan air hangat di kamar mandinya dan disediakan sarapan roti setiap pagi. Ya, bagi saya asal bisa tidur nyenyak, mandi dan poop rasanya sudah alhamdulillah sekali. 

Lumayan buat guling sana sini
Hujan deras membuat saya malam itu hanya menghabiskan waktu di kamar sambil menghabiskan perbekalan cemilan karena malas beranjak keluar untuk makan malam. Setelah mandi air hangat dan pasang timer tv dan alarm, saya pun tertidur pulas, beristirahat untuk petualangan yang lebih seru di esok hari.

Foto : Dokumentasi Pribadi

Explore Malang : Spooky Things at Taman Rekreasi Sengkaling

Pesawat mendarat dengan halus di Bandara Djuanda Surabaya, saya menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu toko roti membeli beberapa buah roti untuk driver yang bertugas. Pagi itu saya dijemput oleh Pak Yoni, seorang asli Madura, driver kantor yang akan mengantarkan saya ke lokasi pernikahan kolega kantor. Mobil kami pun meluncur, terdengar di radio bahwa hari itu terjadi kemacetan parah di ruas-ruas jalan di Surabaya karena genangan air, maklum semalamam Surabaya dan sekitarnya diguyur hujan lebat. Jadi kami tidak melewati jalan tol Sidoarjo karena genangan airnya cukup tinggi, wah sayang sekali padahal saya ingin melihat secara langsung lokasi semburan lumpur Lapindo.

Perjalanan Surabaya-Malang adalah sekitar 3 jam, jika dihitung saya masih bisa mampir ke satu objek wisata sebelum datang ke resepsi pernikahan, hehe mumpung Pak Yoni bersedia mengantar. Setelah makan siang di salah satu warung makan Soto Surabaya, Pak Yoni mengantarkan saya ke Taman Rekreasi Sengkaling karena lokasinya sejalan dan searah. Saya pun di drop di pintu masuk salah satu taman rekreasi yang katanya menjadi salah satu favorit warga Malang.

Pintu masuk Taman Sengkaling
Taman Rekreasi Sengakaling (TRS) berlokasi di Jl. Raya Mulyoagung No. 188 Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Dulu kepemilikan taman rekreasi ini sempat berada di bawah perusahaan rokok Bentoel Group dan akhirnya dibuka untuk umum dan Maret 2015 diambil alih kepemilikannya oleh UMM (Universitas Muhammadiyah Malang). Harga tiket masuk sebesar Rp.15.000 dan akan mendapat potongan 50% jika membawa kartu member belanja Ramayana Group.

Mau kemana kita?
Konon, TRS ini sudah ada sejak tahun 1950, tua sekali yaa. Memang cukup terlihat dari beberapa spot cenderung spooky atau ah entahlah mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi memang ketika saya eskplorasi lebih dalam hingga area belakang, banyak sekali area bermain yang cenderung tidak terawat dan dibiarkan begitu saja. Sebut saja seperti yang terlihat di gambar-gambar abandoned place. Kebetulan ketika saya datang lokasi sangat sepi, semakin menambah rasa ngeri dan cukup membuat bulu kuduk berdiri. Tapi terlihat jelas, sejak diambil alih oleh UMM sudah mulai banyak aktivitas renovasi yang saat itu sedang dilakukan, sepertinya memang TRS ini sedang direstorasi kembali dan ingin dijadikan primadona tempat wisata favorit seperti jaman dulu kala.

Spooky spot at Taman Sesat
Banyak atraksi yang tersedia di TRS misalnya taman labirin, kapal misteri, bioskop 4 dimensi, kiddy train, bumper car, play ground, sepeda air dan yang memang menjadi favorit adalah wahana kolam pemandian Tirta Alam, Tirta Sari dan Kolam Cumi-cumi. Saat ini juga sudah dibuka Sengkaling Food Festival yang menyajikan ragam makanan asli Kota Malang beserta oleh-olehnya.

Wahana Kapal Misteri
Tidak begitu tertarik untuk mencoba wahana-wahana, akhirnya saya pun hanya berkeliling sambil menkmati es krim yang cocok di cuaca yang siang itu sangat terik sekali. Saya sempat senang karena menemukan taman labirin berjudul Taman Sesat yang terletak tersembunyi di pojok area, tapi ketika saya mencoba untuk masuk, tiba-tiba muncul perasaan kurang enak ya sebut saja merinding disko di siang bolong, hahahaha. Mungkin karena sangat sepi dan area tanaman taman labirin yang tumbuh dengan liar dan tidak terawat. Akhirnya saya mundur teratur dan berjalan cepat menuju lokasi yang lebih ramai.

What do you think?
Saya beranjak ke arah kolam buatan untuk sekedar duduk manis di tempat duduk tepi kolam bermodel ayunan. Hmm, cukup menyenangkan duduk sambil melepas penat, di bawah pohon rindang sambil mengamati aktivitas wisatawan lokal yang tampat menikmati waktu mereka. Awan mendung pun tiba-tiba berarak datang, saya beranjak terburu-buru untuk pergi ke parkiran bertemu dengan Pak Yoni. Hmm, harapan saya semoga dengan diambil alihnya kepemilikan TRS, UMM bisa lebih memajukan tempat wisata legenda ini, mengubahnya menjadi lebih menarik dan tidak menyeramkan seperti ini, hehehe, aamiin.

Hujan deras pun turun seiring mobil kami melaju ke arah Kota Malang.

Foto : Dokumentasi Pribadi

Sabtu, 12 September 2015

Explore Malang : Another Solo Traveling

"Nda, mau jalan-jalan gratis ga?"

Suapan nasi uduk di pagi itu pun terhenti seketika, saya menoleh, di samping kubikel berdiri dengan manisnya si bos kecil. Hahaha mendengar pertanyaan semacam itu, siapa pula yang akan menjawab "nggak mau". Walau agak mencurigakan, saya bertanya detail mengenai terms and condition yang ditawarkan. Ternyata saya "ditugaskan" kembali untuk menghadiri pernikahan salah satu kolega kantor di Malang, Jawa Timur mewakili si bos kecil, tapi kali ini akan dibiayai tiket pesawat pulang-pergi. Tawaran pertama adalah berangkat pagi pulang petang, saya menolak dan mengajukan diri untuk extend dan menyanggupi biaya di luar tiket. Approved!

Sayangnya karena tawaran berangkat terlalu mendadak saya tidak mendapatkan tiket langsung ke Malang, long weekend dan peak seasson pastinya memamg agak mustahil dengan jadwal penerbangan yang terbatas. Alhasil tiket pun sudah di tangan, pp Jakarta-Surabaya! Otak saya langsung bekerja keras untuk mengoptimalkan waktu selama 3 hari yang akan saya lalui (lagi-lagi) seorang diri di kota apel ini. Sebelumnya saya sudah sempat ke Malang, tapi hanya sekedar lewat saja ketika hendak ke Madakaripura, jadi ya anggap saja saya memang tidak paham seluk beluk kota ini.

Penginapan sudah di-booking, salah satu hotel murah meriah dan sangat sederhana. Walau begitu entahlah saya mendapat harga yang cukup tinggi untuk hotel itu karena peak seasson, hiks segitu pun sudah yang paling murah di antara hotel lainnya. Saya pilih motel ini karena berlokasi di pusat kota dan di tengah keramaian, ya terletak di Pasar Besar Kota Malang, ramai betul kan? Tiket sudah, penginapan sudah, saatnya membuat itinerary, budgetting dan browsing semaksimal mungkin agar tidak "buta" seluk beluk kota apel ini. Ketika sudah siap semua, maka saya pun siap untuk berpetualang sendirian (lagi) di kota antah berantah. Oiya, solo traveling ke Malang juga merupakan salah satu wishlist saya, and i'm gonna make it happen again!

Untuk mengoptimalkan waktu, saya pilih penerbangan pagi karena harus menempuh perjalanan 3 jam Surabaya-Malang sebelum menghadiri pernikahan kolega di sore harinya. Berharap hari itu dan selama 3 hari ke depan cuaca di Malang cerah, karena sudah beberapa hari kemarin di Bogor sering hujan lebat. Pesawat pun lepas landas, beruntung kali ini mendapat bangku di samping jendela. Perjalanan ke arah timur selalu menarik karena pastinya akan melewati daratan pulau Jawa dengan puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi.

Tebak gunung apa ini?
Pemandangan seperti itu pada akhirnya membuat saya tumben-tumbennya tidak tidur di perjalanan. Saya pun iseng membuka majalah dan menemukan salah satu artikel interview Alexander Thian as we known as Amrazing. Ada salah satu kutipan yang rasanya sangat tepat sekali untuk saya saat itu, mengenai perjalanan seorang diri.

Credit Quotes from Amrazing
Setuju sekali dengan pendapat Amrazing di atas, karena di kesendirian kita, kita tidak benar-benar pernah sendirian. Selama perjalanan kita akan bertemu dengan orang-orang tidak dikenal yang dengan senang hati membantu ketika kita membutuhkan. Saya yang sebetulnya adalah seorang penakut dan pemalu, pada akhirnya mau tidak mau harus melawan rasa takut karena yakin saya tidak pernah benar-benar sendirian, selain the helpfully strangers, saya punya Allah yang akan selalu melindungi kemana pun saya pergi. 

Banyak orang bertanya apa saya tidak takut pergi jauh sendirian, ya jujur saja kalau dijawab serius saya takut, manusiawi sebagai seorang wanita. Tapi pada akhirnya saya harus meyakini diri bahwa kalau saya takut, saya mungkin hanya mengurung diri saja di rumah, tidak pergi dan menolak berbagai kesempatan untuk solo traveling. Rugi.

Yakin saja, everythings will be fine, i'll never walk alone, Allah always beside me

"At the end you have yourself, you will be amazed on how you can count on myself" - Amrazing

Yeah, indeed, i count it..

Foto : Dokumentasi Pribadi

Sabtu, 05 September 2015

Papandayan : Hutan Mati, Aku Jatuh Cinta!

Alarm Subuh yang telah di-snooze berkali-kali akhirnya berhasil membangunkan saya untuk segera solat dan cuci muka di air yang dinginnya seperti air es. Saya sangat bergegas karena pagi ini saya bertekad untuk melihat sunrise dari Hutan Mati, walaupun tidak ada yang mengantar, toh tidak terlalu jauh dan sepertinya petunjuk jalannya cukup jelas. Ketika wudhu saya sempat melihat di ufuk timur sudah tampak rona-rona kemerahan, aaaah payah sepertinya saya kesiangan!


Mortal
Setelah kembali ke tenda saya membangunkan teman-teman untuk mengajak melihat sunrise yang ternyata gagal. Mereka lebih menikmati berada dalam hangatnya tenda dan sleeping bag ah payah sekali. Akhirnya saya berhasil membujuk dua orang teman dan kami pun sempat berlari-lari kecil karena khawatir melewatkan moment. Kami sempat tergoda untuk ke puncak bergabung dengan rombongan tetangga, tetapi karena sepertinya waktu tidak mencukupi kami mengurungkan niat dan tetap pada tujuan utama yaitu : Hutan Mati.


Eksotisme Hutan mati
Petunjuk jalan yang terpampang sangat jelas, jadi tidak perlu khawatir tersasar, apalagi Hutan Mati adalah area terbuka jadi tidak akan terlalu mengacaukan navigasi terlebih kami kesana pada pagi hari. Langkah-langkah kaki kami pun semakin melebar seiring dengan menguningnya semburat warna di ufuk timur. Di kejauhan tampak deretan pada pendaki siap menikmati pagi.


Breathtaking beautiful
Alhamdulillah kami sampai tepat waktu, kami berada di dataran tepat di atas kawah Papandayan. Di depan kami terhampar jurang yang cukup dalam menuju kawah. Di ufuk timur sang mentari tersenyum menyambut kami para pendaki yang bersemangat pagi itu untuk menikmati terbitnya hari. Allahu Akbar! Indahnya


Hello Sunshine!
Matahari terbit di antara gumpalan awan lembut dan puncak beberapa gunung yang mengintip di antara awan, terlihat pula puncak Gunung Cikuray di kejauhan. Wajah saya sembab seperti orang menangis, ternyata saya alergi debu vulkanik, hehehe. Saya terlalu bersemangat pagi itu sampai baru menyadari lupa memakai kacamata dan masker, ah pantas saja. Di ufuk barat pun masih tampak full moon sisa semalam yang sepertinya masih enggan untuk meluncur turun, ah indahnya tidak terkira.


Rembulan yang sepertinya enggan pulang
Setelah puas menikmati moment matahari terbit kami pun menjelajah hutan mati dan menikmati ke-mistis-an yang ditawarkan oleh batang-batang pohon Cantigi yang telah terbakar mati akibat erupsi Gunung Papandayan dan mengering. Mempesona dan anggun. Deretan batang-batang hitam legam seperti akar terbalik yang berdiri kokoh di atas tanah putih abu vulkanik. Eksotis!


Numpang duduk
Hari semakin siang, kami bertiga beranjak untuk turun karena harus bergegas pulang. Persimpangan menuju Tegal Alun sangat menggoda. Ya, Tegal Alun sebuah dataran luas yang merupakan padang bunga Edeilweis terluas di Jawa Barat akan kami lewatkan begitu saja karena waktu yang sangat terbatas. Maaf Tegal Alun, saya tidak sempat mampir, hiks.


Edeilweis yang sempat kami temui dekat Pondok Saladah, cukup ini saja
Turun ke Pondok Saladah kami menyiapkan makan pagi, yang mudah saja : mie instant! Hahaha, yang penting perut kenyang sebelum melakukan perjalanan pulang yang cukup panjang. Setelah beres-beres dan bersih-bersih kami pun bersiap pulang melewati trek kemarin dengan urutan terbalik. Perjalanan turun kami habiskan lebih cepat yaitu cukup dua jam saja. Setelah beristirahat sejenak di Camp David, kami pun meluncur turun dan siap menuju Ibukota.


Pulang!
See you goodbye Papandayan, I'll be back to visit Tegal Alun someday! Aamiin..

Foto : Dokumentasi Pribadi

Papandayan : Bermalam di Hotel Berjuta Bintang

Siang menuju sore, setelah mengisi perut kami beristirahat di dalam tenda. Kali ini saya tidak tertarik untuk tidur. Sedikit lelah namun rasanya sangat sayang jika siang itu saya habiskan dengan tidur pulas. Saya pun keluar, membuka matras dan merebahkan diri sambil memandangi puncak yang terlihat hijau. Tidak melakukan apapun, tidak berpikir tentang apapun hanya diam sambil menikmati ciptaan Allah yang begitu indah di depan mata. Sore ini kami belum ada rencana akan menjelajah kemana, saya ikut saja karena belum paham dan khawatir tersesat jika berjalan sendirian. Di Papandayan terdapat dua objek yang wajib dikunjungi yaitu Hutan Mati dan Tegal Alun, pastinya saya pun tidak ingin melewatkan keduanya hehehe.

Just sit and relax
Hari pun semakin sore, Pondok Saladah semakin padat dengan tenda-tenda dan pendaki yang beraktivitas. Beberapa teman tampak sudah terbangun, kami pun mulai berbenah untuk masak dan menyiapkan makan malam. Aktivitas ini membutuhkan kerjasama dan dinamika kelompok pun akan semakin terlihat. Kali ini pun saya semakin mengenal satu sama lain dengan tabiat dan perangai masing-masing. Sedikit cekcok antara saya dan salah satu teman laki-laki pun sempat terjadi, mungkin karena perut yang kosong emosi menjadi tidak stabil. Terlebih sore itu pada akhirnya aktivitas kami hanya memasak, kami tidak sempat pergi untuk menjelajah. Yasudahlah, saya tidak ambil pusing, saya pikir jangan karena hal sepele perjalanan ini menjadi menyebalkan. 

Sore ini kami memasak nasi, sayur sop dan tempe goreng tepung, sangat sederhana tetapi dari aromanya sepertinya sangat nikmat sekali. Hari mulai gelap, beberapa teman pergi untuk mengumpulkan kayu bakar, kami akan membuat api unggun sambil menyantap makan malam. Makan malam pun siap seiring dengan api unggun yang berkobar-kobar menyala. Kami pun menggelar matras dan duduk melingkar sambil menyantap makan malam yang sangat nikmat, alhamdulillah. Dari kejauhan tampak bulan menunjukkan cahaya cantiknya, saya baru pertama kali melihat proses terbitnya bulan dan kali itu kami diberikan kesempatan untuk melihat full moon. Masya Allah indahnya ketika bulatan cantik kekuningan itu meluncur naik ke langit dengan perlahannya.

Panasnya api unggun sampai tak berasa saking dinginnya udara
Selepas makan malam kami masih berada di posisi melingkar dengan api unggun di tengah dan saling merapatkan badan. Udara semakin dingin menusuk. Kami pun berbincang-bincang dan melakukan sebuah games psikologis. Tawa bahak kami pun menggema seiring melupakan kejadian cekcok sore tadi. Bulan semakin membulat dan bintang-bintang tampak semakin betaburan. Malam itu Pondok Saladah sangat riuh, ramai, bahkan cenderung gaduh. Mungkin gelak tawa kami pun turut berkontribusi atas gaduhnya Papandayan saat itu. Sambil menyeruput minuman hangat kami masih melanjutkan games, saking seru dan semakin dinginnya udara, kami sampai tidak sempat mengabadikan full moon dan milky way.

Ternyata teman saya sempat mengabadikan full moon malam itu
Hari semakin malam, api unggun sudah mulai padam menyisakan bara pada kayu. Satu per satu dari kami pun pamit untuk tidur. Setelah sholat dan bersih-bersih saya masuk ke dalam tenda dan menelusup ke dalam sleeping bag berharap dapat menghangatkan tubuh di malam yang amat sangat dingin. Ternyata saya tidak mudah tertidur, dinginnya luar biasa menembus hingga kulit. Tapi karena lelah akhirnya saya terlelap seiring dengan semakin senyapnya Pondok Saladah.

Pukul 02.00 dini hari saya terbangun untuk pergi ke toilet karena perut yang tidak bisa diajak berkompromi. Alhamdulillah saya tidak perlu gali tanah karena tersedia toilet hehehe, kebetulan malam itu kosong dan tidak ada yang mengantri. Namun kebahagiaan saya hanya sementara, baru sebentar masuk di luar sudah ada yang mengetuk, yassalam hahaha. Saya kembali ke tenda, tampak beberapa orang masih berkumpul di luar tenda padahal udara semakin dingin. Karena terkena air, saya sempat kedinginan hingga gigi bergemeletuk. Saya pun melanjutkan tidur di dalam sleeping bag yang sudah tidak terasa hangat lagi. Dingin...

Foto : Dokumentasi Pribadi

Papandayan : The Land of Cantigi

Cantigi..

Nama yang pertama kali saya kenal dari teman yang sering mendaki gunung, oh ternyata nama anaknya yang paling kecil. Diberi nama Cantigi agar kelak bisa tumbuh cantik, kuat dan bisa menjadi pelindung, seperti pohon Cantigi. Cantigi (Vaccinium varingiaefolium) punya julukan Manis Rejo (Jawa) dan Delima Montak (Kaltim) merupakan tumbuhan yang dapat ditemukan hampir di semua gunung di Indonesia. Sangat kuat dan mampu bertahan hidup di kondisi ekstrem seperti di Gunung Papandayan yang sangat kering, berbatu dan dekat dengan tanah belerang yang beracun. Ya, pohon Cantigi inilah yang akan ditemui sepanjang perjalanan mendaki Gunung Papandayan. Saya kurang paham bagaimana kalau di gunung lain karena ini merupakan pendakian pertama, saya cukup takjub karena sejauh mata memandang Cantigi is everywhere. So, i called Papandayan : The Land of Cantigi.

Land of Cantigi
Pada trek pertama, kami dihadapkan jalanan berbatu dengan kiri dan kanan dihiasi pohon Cantigi yang cukup rimbun. Kemudian semakin mendekati kawah, trek akan semakin gersang dan tidak ada pepohonan. Bebatuan terjal siap menghadang perjalanan, oleh sebab itu kita sangat disarankan untuk menggunakan sepatu trekking, selain memudahkan ketika berpijak tentunya untuk menghindari kaki terluka. Kalau tidak salah memang ada larangan jika hanya menggunakan sendal gunung, karena cukup membahayakan.

Trek pertama untuk pemanasan
Matahari semakin terik dan menyilaukan mata, lensa kacamata saya semakin menghitam pertanda bahwa tingkat UV sangat tinggi. Jalanan semakin gersang dan terjal, bau aroma belerang sudah semakin tercium berarti sudah semakin dekat dengan kawah Papandayan. Gunakanlah masker untuk melindungi organ pernapasan karena bau belerangnya sangat menyengat, selain itu juga membantu melindungi dari debu pasir yang gersang. 

Kawah Papandayan semakin dekat
Jalanan semakin menanjak dan cukup curam, kami sempat beristirahat beberapa kali untuk sekedar menarik napas dan minum. Beberapa teman berjalan duluan agar ketika kami sampai tenda sudah didirikan, aaah baik sekali. Selama perjalanan kita harus berhati-hati karena banyak sekali motor trail  berlalu lalang. Kebanyakan memang penduduk sekitar yang memiliki warung di atas, tetapi ada juga beberapa yang memang melintas untuk menyalurkan hobi motor trail.

Jalanan yang semakin terjal dan curam
Sampailah kami di seberang kawah Papandayan, tampak asap putih mengepul dari celah bebatuan kuning belerang. Di situ juga mengalir air panas yang membentuk sungai hingga ke bawah. Tidak lama kami memandangi kemegahan kawah Papandayan karena tidak kuat dengan bau belerang yang menusuk serta udara yang semakin panas. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Di ujung jalan menanjak terdapat area datar yang cukup luas, terdapat beberapa warung untuk jajan dan istirahat sejenak sambil memandangi Kawah Papandayan dari atas. Namun kami tidak tergoda untuk beristirahat, karena lebih tergoda melanjutkan perjalanan, penasaran dengan apa yang akan kami hadap di depan. 

Kawan Papandayan
Trek selanjutnya cenderung mendatar dan menurun, serta lebih rimbun, alhamdulillah akhirnya nemu juga jalanan yang rimbun hehehe. Di ujung jalanan menurun kita akan menemukan sungai yang mengalir jernih, kami pun berhenti sekedar untuk merasakan segarnya air pegunungan dan mengisi beberapa botol air minum.

Sumber air sudekat

Perjalanan pun dilanjutkan dengan trek yang terus menerus menanjak, kali ini dengan pijakan berupa tanah berdebu. Saya pun memakai kembali masker yang semula sudah saya lepas, tak tahan dengan debunya. Kacamata pun cukup membantu agar mata tidak kemasukan debu. Napas kami sudah mulai kacau seiring semakin curamnya jalanan yang dilalui. Sering-seringlah beristirahat sambil berpegangan pada kokohnya batang pohon Cantigi. Di suatu jalan teman saya menawarkan pilihan trek yang lebih curam tapi cepat sampai atau trek biasa. Ketika melihat pilihan pertama, saya langsung mantap menggelengkan kepala, hahaha, mungkin nanti saja dicoba ketika turun.

Diagonal Queue
Setelah melalui jalan tanah berdebu kami dihadapkan dengan trek selanjutnya yaitu jalanan yang lebar berbatu. Tampak beberapa warung jajanan dan pegadang cilok menjajakan dagangannya di sini. Beberapa teman pun sempat berhenti untuk jajan, kami pun menepi di bawah pohon rindang. Sekedar meluruskan kaki sambil menikmati bayangan Gunung Cikuray di kejauhan. Saya pun sempat takjub dengan beberapa rombongan yang membawa anak kecil bahkan ada yang masih baby. Luar biasa.

Mt Cikuray through my eyes!
Sampailah kami di Lawang Angin, sebuah lorong sempit yang diapit oleh tebing tinggi, jika dilihat dari kawasan kawah memang seperti pintu gerbang masuk. Ketika melewati Lawang Angin rasanya sangat dingin dan adem, mungkin dinamakan seperti itu karena di tempat ini ada perpindahan udara yang mengalir. Setelah melewati Lawang Angin kita akan menemukan pos kedua, tampak tanah yang cukup luas mendatar dengan warung-warung di beberapa sisi. Kami beristirahat sejenak. Di pos ini terdapat persimpangan jalan, ke arah kanan menuju Tegal Panjang, lurus menuju Pangalengan dan kiri menuju Pondok Saladah. Hmm, sepertinya sedikit lagi sampai, kami pun beranjak menuju Pondok Saladah, trek nya masih sama yaitu tanah berdebu yang sempit dengan sisi kanan dan kiri Pohon Cantigi. 


Trek tanah berdebu, siapkan masker!
Voila! Setelah 3 jam berjalan kaki, sampailah kami di Pondok Saladah yang siang itu sudah ramai dengan tenda berwarna-warni. Kami pun mencari teman kami dan alhamdulillah tendanya sudah didirikan, ah senangnya. Pondok Saladah ini merupakan sebuah dataran luas dan digunakan sebagai tempat camp, di sisinya pun mengalir sungai Cisaladah yang airnya selalu mengalir deras sepanjang tahun. Di Pondok Saladah banyak sekali berdiri warung-warung yang menyediakan segala kebutuhan terutama makanan. Toilet dan musholla pun tersedia dengan air yang mengalir deras, hanya saja memang harus antri hingga 30 menit karena sangat ramai. 
Suasana Pondok Saladah
Dengan fasilitas yang sangat lengkap ini rasanya Gunung Papandayan memang stage 1 untuk pendaki pemula seperti saya, hehehehe alhamdulillah. Kami pun beristirahat dan mengeluarkan makanan masing-masing untuk potluck sambil berbincang hangat dan menikmati suasana Pondok Saladah yang semakin sore semakin ramai.

Foto : Dokumentasi Pribadi