Di pertengahan tahun 2014 saya akhirnya berhasil menunaikan salah satu bucket list yaitu melakukan solo trip. Ini adalah kali pertama saya melakukan perjalanan seorang diri. Entah mengapa saya begitu penasaran seperti apa rasanya pergi sendirian. Saya banyak membaca artikel bahwa ada baiknya di usia 20-an kita harus mencoba solo trip minimal sekali. Saya pun mengajukan cuti yang cukup panjang karena trip kali ini mempunyai rute Semarang - Kendal - Jogjakarta - Denpasar.
Saya memilih kota Semarang sebagai tujuan solo trip karena setelah menggali banyak informasi, kota ini memang layak dan aman untuk dikunjungi oleh solo traveler, terutama wanita. Kendal dan Jogjakarta sebetulnya hanya akan menjadi kota transit saja sebelum melakukan perjalanan menuju Denpasar untuk menemani kakak saya berlibur.
Saya memesan tiket KA Menoreh jurusan Pasar Senen - Tawang untuk keberangkatan Sabtu pagi dan sampai di Semarang siang hari. Maklum saja saya belum pernah menginjakkan kaki di Semarang sendirian dan pilihan jadwal sampai ketika hari belum gelap sepertinya merupakan pilihan yang tepat, hal ini dimaksudkan agar saya bisa lebih tahu kondisi kota di siang hari dan tentu saja meminimalisir tersesat jalan hehehe. Pagi buta saya pun meluncur dari Bogor menuju stasiun Pasar Senen. Pagi itu stasiun Senen tidak begitu ramai, antrian KA Menoreh pun tidak sepadat antrian KA menuju Malang dan Jogja.
![]() |
Menanti KA Menoreh |
Tak lama kereta pun datang, KA Menoreh ini kondisinya lebih bagus jika dibandingkan dengan KA Matarmaja yang dulu pernah mengantar saya menuju Malang. Toiletnya pun bersih dengan air yang melimpah. Interiornya mirip dengan KA Matarmaja, hanya saja bangku yang berhadapan cukup untuk 2-2. Di KA Menoreh pun tidak ada penyewaan bantal seperti di Matarmaja. Perjalanan Jakarta - Semarang ditempuh selama kurang lebih 7 jam, setengah perjalanan Jakarta - Malang hehehe. Karena pernah merasakan yang lebih jauh, perjalanan kali ini terasa sangat cepat. Mendekati Semarang kita akan disuguhkan pemandangan rel yang berada tepat di sisi laut. Saya sempat terpukau karena di perjalanan sebelumnya hari sudah malam dan tidak sempat melihat pemandangan ini. Sempat terlihat beberapa orang seperti sedang memancing di pinggir laut.
![]() |
Rel di sisi laut, tanda sudah hampir tiba |
Pukul 14.29 kereta pun merapat di Stasiun Tawang disambut oleh udara yang sangat panas. Setelah beristirahat dan sholat di musholla stasiun, saya pun memulai perjalanan. Karena tidak tahu arah dan buta jalan, mulut merupakan modal utama dalam perjalanan kali ini, banyaklah bertanya dan jangan sungkan. Destinasi pertama saya adalah Kota Lama, kebetulan Stasiun Tawang ini masih masuk dalam kompleks Kota Lama, jadi berjalan kaki saja sudah bisa. Stasiun Tawang juga merupakan peninggalan jaman kolonial Belanda dan merupakan salah satu stasiun kereta tertua di Pulau Jawa.
![]() |
Sepinya Stasiun Tawang |
Setelah bertanya mengenai arah kepada salah satu security yang sangat ramah, saya pun mulai menggeret koper keluar dari stasiun. Ya di perjalanan kali ini saya membawa koper ukuran sedang dan ransel, maklum saja belum punya tas carrier yang lebih besar hehe. Keluar dari stasiun saya disambut oleh tukang becak dan taxi yang saya tolak dengan halus, sepertinya berjalan kaki sejenak berkeliling Kota Lama tampak lebih menyenangkan. Kota Lama Semarang merupakan sebuah kompleks kota tua yang terdiri dari banyak sekali bangunan tua zaman penjajahan Belanda. Kota Lama sering disebut Little Netherlands atau Outstadt, kini hampir seluruh permukaan jalannya ditutupi dengan paving block. Nyaman untuk berjalan kaki, tetapi tidak untuk koper yang saya bawa, hehehe.
Tepat di luar Stasiun Tawang kita akan menemui sebuah kolam besar berarsitektur khas kolonial dengan tiang-tiang kokoh di bagian sisinya. Kolam besar ini disebut Polder Tawang, merupakan sebuah sistem irigasi yang mengatur ketinggian permukaan air di Semarang, terutama menjaga sirkulasi pengairan jika terjadi banjir rob (pasang air laut). Maklum saja Semarang berada tepat di pesisir laut utara Jawa. Saya pun sempat duduk dan beristirahat sejenak dari panasnya matahari di bangku-bangku taman yang berjejer rapi di sekeliling kolam.
![]() |
Polder Tawang |
Sambil menikmati Kota Lama yang siang hari itu sangat sepi, bahkan mobil saja hanya sedikit yang lewat. Di ujung polder saya melihat ada satu tenda angkringan yang seolah-olah melambai memanggil. Saya pun meluncur untuk sekedar beristirahat dan mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan. Teh manis hangat dan beberapa bungkus nasi kucing pun mendarat dengan mantap di perut saya, hehehe.
![]() |
Monggo mbak'e.. |
Sebelum beranjak saya sempat bertanya pada ibu pemilik angkringan dimana letak Gereja Blenduk yang ternyata dari tempat saya duduk sudah terlihat ujung atapnya. Setelah membayar sebesar Rp. 8.000 saja saya pun pamit untuk melanjutkan perjalanan. Berkeliling polder sambil berjalan ke arah Gereja Blenduk tampak berjejeran gedung-gedung tua. Salah satu bangunan yang menarik perhatian saya adalah bangunan pabrik rokok karena tulisan merahnya cukup mencolok yaitu "PABRIK ROKOK TJAP PRAOE LAJAR". Konon pabrik ini sudah beroperasi sejak tahun 1900an dan merupakan salah satu pabrik rokok tertua di Semarang. Wah saya pikir bangunan ini sudah tidak digunakan.
![]() |
Pabrik Rokok Prahu Layar |
Semakin jauh saya berjalan saya baru menyadari sepertinya saya salah arah, hahaha harap maklum navigasi saya memang kacau. Tampak di kejauhan ada tukang becak sedang mengayuh, tak ragu saya pun memanggil untuk mengantarkan saya ke Gereja Blenduk. Setelah membayar Rp. 5.000 saya akhirnya sampai di bagian belakang gereja. Tampak ada sepasang pengantin yang sedang melakukan photo session, juga tampak beberapa muda mudi sedang berfoto ria dengan latar Gereja Blenduk.
![]() |
Selfie sedikit dengan latar mblendhug |
Gereja Blenduk merupakan gereja kristen pantekosta tertua di Jawa Tengah yang didirikan pada tahun 1753. Pada tahun 1787 bentuk gereja ini dirombak secara total. Kemudian, pada tahun 1894-1985 W. Westmaas dan HPA de Wilde menyempurnakan bangunan tersebut dengan menambahkan dua buah menara di depannya dan semakin menjadikan bangunan ini lebih cantik. Disebut blenduk atau dengan pelafalan lokal khas jawa mblendhug yang artinya setengah bola karena bagian atap gereja yang membulat unik. Di bagian sisi belakangnya terdapat kaca patri berwarna warni berukuran besar.
Gereja ini sesungguhnya bernama Gereja GPIB Immanuel dengan bentuk oktagonal (persegi delapan). Gereja ini hingga saat ini masih digunakan untuk misa setiap hari Minggu. Gereja Blenduk pernah mendapatkan penghargaan karya arsitektur kuno terawat untuk kategori tempat ibadah. Penghargaan ini diberikan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Tengah yang penyerahannya dilakukan di Asaya Home Center dalam Forum Anggota IAI.
![]() |
GPIB Immanuel dari seberang jalan |
Tepat di sampingnya terdapat Taman Srigunting yang sangat rimbun, saya pun sempat duduk untuk beristirahat sejenak sambil menikmati arsitektur cantik Gereja Blenduk. Sore itu tidak begitu ramai karena sedang tidak ada misa, hanya tampak seorang security sedang menjaga parkiran beberapa motor. Mungkin milik beberapa muda mudi yang sedang berkumpul dan berbincang di taman, mungkin sebuah komunitas. Di seberang gereja terdapat warung sate yang katanya merupakan sate paling enak di Semarang. Sayang perut saya sudah cukup terisi jadi tidak sempat mencicipi.
Setelah beristirahat saya melanjutkan perjalanan menuju Simpang Lima. Saya diberi petunjuk oleh security gereja agar berjalan kaki sebentar sampai Kantor Pos. Saya pun berjalan santai melintasi gedung-gedung tua sampai tempat menunggu angkot menuju Simpang Lima. Sepanjang jalan saya disuguhkan deretan bangunan-bangunan tua yang entahlah saya pun tidak tahu bangunan ini masih dipakai atau tidak, namun mereka masih sangat kokoh berdiri.
![]() |
Salah satu pintu masuk bangunan tua |
![]() |
Jalanan Kota Lama sore itu |
Sampai di depan kantor pos saya sempat membeli air mineral sekaligus bertanya kepada ibu penjualnya angkot mana yang bisa membawa saya menuju Simpang Lima. Si Ibu pun menunjuk salah satu angkot berwarna biru sambil menyapa ramah. Tak lama saya pun sudah meluncur ke arah Simpang Lima sambil melihat keadaan kota Semarang di sore hari. Sore yang cukup ramai, oh karena malam minggu mungkin. Sambil mengeluarkan ongkos Rp. 3000 saya pun turun di seberang kawasan Simpang Lima.
Simpang Lima sore itu sangat ramai, saya pun menyeret koper saya ke salah satu sisi untuk duduk santai, rasa lelah tampaknya mulai muncul hehehe. Sambil beristirahat saya menikmati suasana ruang publik kesayangan penduduk Semarang. Simpang lima merupakan sebuah lapangan besar, disebut juga Lapangan Pancasila yang merupakan simpangan dari lima jalan utama yang menyatu yaitu Jl. Pahlawan, Jl. Pandanaran, Jl. Ahmad Yani, Jl, Gajah Mada dan Jl, A. Dahlan. Di sekitarnya tampak berdiri hotel-hotel mewah dan pusat perbelanjaan. Simpang lima juga dijadika sebagai pusat Alun-alun Semarang yang selalu diramaikan oleh aktivitas warganya terutama di hari Sabtu - Minggu.
![]() |
Pedagang sedang mempersiapkan lapak |
Saat sedang duduk bersantai saya dihampiri oleh seorang pengamen waria, sambil menyerahkan uang saya pun bertanya tempat makan yang enak dan murah meriah. Dia pun menunjuk salah satu jalan, katanya disana bisa mengicipi tahu gimbal dan harganya pun murah. Adzan Maghrib pun berkumandang, saya melangkahkan kaki ke sisi kanan Simpang Lima, disana terdapat Masjid Agung Semarang yang cukup besar (bukan Masjid Agung Jawa Tengah). Masjidnya sangat ramai jamaahnya, alhamdulillah sangat hidup.
Selesai sholat saya pun kembali berjalan-jalan berkeliling Simpang Lima, semakin malam kawasan ini semakin ramai, Tua muda pria wanita sendiri berdua dan berkelompok tumpah ruah, dari mulai bermain sepeda lampu, sepatu roda, kembang api bahkan hanya duduk-duduk manis. Mulai lapar saya pun beranjak ke lokasi yang sebelumnya ditunjuk oleh pengamen waria, pilihan saya jatuh pada Tahu Gimbal.
![]() |
Deretan sepeda lampu yang semarak |
Tahu Gimbal merupakan salah satu kuliner khas Semarang selain lumpia dan tahu bakso. Sebetulnya mirip kupat tahu, hanya saja ditambahkan gimbal yaitu semacam bakwan udang, kol mentah, irisan telur dan kerupuk kampung yang putih. Untuk seporsi tahu gimbal dan teh manis hangat saya mengeluarkan kocek Rp. 15.000. Selesai makan saya mencari taxi untuk meluncur ke hotel, saya direkomendasikan untuk menggunakan taxi karena di Semarang angkutan kotanya tidak banyak dan lebih sulit aksesnya. Bahkan taxi pun tarifnya sangat murah, dari Simpang Lima ke hotel hanya menghabiskan Rp. 17.000.
![]() |
Tv kabel, ac dan hot shower |
Hotel yang saya singgahi kali ini merupakan salah satu budget hotel yaitu City One Hotel yang terletak di Jl. Lamper Tengah Raya No. 9. Saya dapatkan dari Agoda sebesar Rp. 150.000 per malam untuk single express no breakfast. Kamarnya bersih, nyaman, memang tidak terlalu besar karena ditujukan untuk 1 orang, dengan ac, tv kabel (dengan 17 channel), dan hot shower. Cukup lumayan untuk bisa merasakan fasilitas hotel dengan harga yang tidak terlalu mahal.
![]() |
Single Express Bed, maaf ada saya di cermin :p |
Bersambung ke part 2
Dokumentasi : milik pribadi
Dokumentasi : milik pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar