Sabtu, 26 April 2014

Ke Malioboro? Jangan Hanya Berbelanja!

Cerita solo trip di Semarang masi berlanjut, di hari ketiga saya bangun pagi-pagi sekali untuk packing karena pagi ini sudah harus check out dari hotel. Perjalanan dilanjutkan menuju Kendal untuk menghadiri pernikahan kolega kantor. Beruntung saya diijinkan menggunakan mobil kantor dan driver karena memang aksesnya agak sulit jika harus menggunakan angkutan umum. Pukul 7.00 Pak Narwan sang driver sudah standby di depan hotel dan siap mengantarkan saya hingga malam nanti.

Walaupun agak mengantuk tetapi saya meniatkan untuk tidak tidur dan menemani Pak Narwan selama perjalanan. Mulai dari topik pekerjaan sampai keluarga, dari mulai pemilu dan politik sampai tentang Kota Semarang. Sekitar 1,5 jam setelah mencari alamat sampailah saya di lokasi acara. Alhamdulillah misi selesai dilaksanakan, teman saya terharu senang karena saya bisa juga sampai disana dan menghadiri pernikahannya, hehehe.

Selesai acara kami beranjak meluncur menuju Yogyakarta karena flght saya nanti malam dari Bandara Adisucipto pukul 20.30. Hmmm, sepertinya masih cukup waktu setengah hari untuk sekedar jalan-jalan singkat di Malioboro. Mobil pun meluncur menuju Yogyakarta via Secang dan Magelang. Saya cukup hafal bebeapa jalan di Secang dan Magelang karena melewati jalan rumah bukde, tapi sayang karena waktunya terbatas saya tidak mampir.

Malioboro sore itu
Pukul 4.00 sore sampailah kami di Malioboro, walaupun sebetulnya tidak berniat untuk berbelanja entah mengapa pilihan jatuh kesini. Saya pun melangkahkan kaki, anggap saja window shopping hehehe. Yogyakarta sore itu terik sekali, saya memilih untuk berjalan di area trotoar toko sambil melihat-lihat barang dagangan. Eksplor Jalan Malioboro sebetulnya sangat menyenangkan, jika berkunjung kesini jangan hanya berbelanja saja, karena di ujung jalan mendekati persimpangan lampu merah ada beberapa objek wisata yang bisa dikunjungi. Antara lain :

Monumen Batik
Mungkin rasanya banyak yang tidak tahu kalau di ujung jalan Malioboro terdapat sebuah monumen yaitu Monumen Batik. Lokasinya di trotoar sisi depan Gedung Agung tepat di perempatan lampu merah Kantor Pos, tepat di titik Nol kilometer kota Yogyakarta. Banyak orang tidak sadar mengenai keberadaan monumen ini dikarenakan kondisinya yang memprihatinkan. Ketika saya datang, kondisinya kotor, banyak sampah dan coretan, bahkan tercium bau pesing menyengat di beberapa tempat juga digunakan sebagai tempat pedagang kaki lima, maupun gelandangan. Di Monumen Batik yang menghiasi lampu-lampu jalan ini, terdapat 24 motif batik khas Yogya berikut dengan penjelasannya. Sebetulnya mirip dengan museum terbuka, penjelasannya pun cukup rinci dan bisa menambah pengetahuan kita mengenai warisan budaya Indonesia. Semoga jika saya kembali ke Yogya, kondisinya sudah lebih baik dan tidak memprihatinkan, aamiin.

Monumen Batik Yogyakarta
Gedung Agung (Istana Kepresidenan)
Dekat dengan Monumen Batik terdapat Gedung Agung atau Istana Kepresidenan. Seperti Istana kepresidenan lainnya, Gedung Agung digunakan sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden RI juga sebagai tempat menerima tamu atau menginap tamu-tamu negara. Sejak tahun 1991, istana ini digunakan sebagai tempat memperingati detik-detik proklamasi kemerdekaan untuk daerah DIY.

Gedung Agung
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949
Tepat di seberang jalan Gedung Agung, terdapat Monumen Serangan Umum 1 Maret. Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan TNI terhadap Belanda pada 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh LetKol Soeharto. Ketika itu Indonesia dianggap lumpuh oleh Belanda, untuk membuktikan bahwa Negara Indonesia masih ada maka dilakukanlah serangan besar-besaran yang sukses meningkatkan moril TNI dan mematahkan propaganda yang dilakukan oleh Belanda. Monumen ini tertutup untuk umum, sehingga hanya bisa dinikmati dari luar saja.

Monumen Serangan Umum 1 Maret
Benteng Vredeburg
Tepat di sebelah Monumen Serangan Umum 1 Maret terdapat Benteng Vredeburg, sayang ketika saya datang benteng ini sudah tutup jadi hanya bisa melihat saja dari luar. Benteng ini dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan Belanda pada masa penjajahan, dikelilingi oleh parit yang sebagian telah direkontruksi.

Pintu Gerbang Benteng Vredeburg
Pasar Beringharjo
Berjalanlah kembal ke arah Malioboro maka kita akan menemukan Pasar Beringharjo di sisi jalan yang sejajar dengan Benteng Vredeburg. Pasar Beringharjo merupakan salah satu pasar tertua di Yogyakarta dan telah beroperasi sejak tahun 1758. Produk yang dijual sudah semakin beragam mulai dari batik, makanan, souvenir, dan lain-lain. Mempunyai makna filosofis yang berarti hutan pohon beringin yang diharapkan memberikan kesejahteraan bagi warga Yogyakarta. Saya pun hanya mampir sebentar untuk membeli bakpia titipan Kakak kemudian melanjutkan ekplor Malioboro kembali.

Sore yang terik memang pas jika menyeruput minuman dingin, saya pun mampir di salah satu depot es dawet ayu. Sangat segar dengan gula merah alami tanpa pemanis buatan apalagi harganya sangat murah, hanya Rp. 3000 saja. Saya pun menikmati es dawet sambil menikmati suasana Yogyakarta di sore hari. Selesai melepas penat, saya mampir ke Masjid di samping kantor Walikota Yogyakarta untuk sholat Ashar dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. 

Di Masjid saya berjumpa dengan seorang ibu yang mengajak mengobrol, ternyata beliau ketika muda pernah tinggal di Bogor dekat dengan rumah saya. Kami pun sempat berbincang menggunakan Bahasa Sunda, padahal kami sedang di Kota Gudeg hehehe. Obrolan semakin lama, Ibu tersebut menawarkan bahwa beliau bisa melakukan rukhyah dan menawarkan pada saya yang saya tolak dengan halus karena kebetulan harus segera pergi, hehehe. Saya pun pamit dan pergi ke parkiran untuk menemui Pak Narwan yang sudah standby akan mengantarkan saya ke bandara untuk penerbangan ke kota lain.

Foto : Dokumentasi Pribadi

Rabu, 23 April 2014

Solo Traveling to Semarang (Part 6) - Kawasan Tugu Muda - Pandanaran

Setelah menyelesaikan misi saya untuk eksplorasi Lawang Sewu, saya pun melangkahkan kaki ke ruas jalan yang terletak di sisi kiri Lawang Sewu yaitu Jalan Pandanaran. Jalan ini merupakan salah satu ruas jalan dari lima ruas jalan yang membelah kawasan Simpang Lima dan Tugu Muda yang terkenal sebagai sentra oleh-oleh khas Semarang. Kali ini pun saya menemukan plang jalan ini secara tidak sengaja ketika sedang menikmati semangkuk bakso gerobak di depan Lawang Sewu, ketika iseng celingak celinguk terpampanglah plang dengan tulisan "Jl, Pandanaran". Mata saya pun membelalak senang karena ini pun merupakan salah satu tujuan saya di kota lumpia ini. Entah mengapa sepertinya banyak sekali ketidaksengajaan yang sangat membantu solo trip saya kali ini, alhamdulillah dimudahkan, hehehe.

Lawang Sewu dari Kawasan Tugu Muda
Saya melangkahkan kaki dengan mantap dan dengan niat membelikan beberapa buah tangan untuk rekan kerja di kantor, biar senang hehehe. Konon yang terkenal adalah Toko Bandeng Juwana dan bisa delivery sampai Jakarta. Berhubung trip saya kali ini akan panjang dan tidak memungkinkan untuk memboyong oleh-oleh selama beberapa hari, saya pun memutuskan untuk melakukan delivery. Walaupun agak mahal cuma yasudahlah daripada saya kerepotan dan makanannya tidak tahan lama.

Toko Bandeng Juwana ini terletak di kanan jalan, sebetulnya banyak sekali toko oleh-oleh di sepanjang jalan ini. Anda tinggal pilih akan menjatuhkan pilihan yang mana, sepertinya semua sama saja. Saya pun mampir sekaligus istirahat sholat maghrib di Bandeng Juwana. Setelah pilah pilih dan membayar, saya melipir ke bagian delivery untuk kirim langsung ke Jakarta. Biaya pengiriman adalah Rp.10.000 pe kilogram untuk waktu pengiriman 1 hari, sebetulnya terbilang cukup murah asalkan oleh-oleh yang anda beli ringan hehehe.

http://semarangkuliner.com/401/bandeng-juwana/
Selesai sudah misi membeli oleh-oleh, saya pun mampir di salah satu warung yang menjual lumpia goreng, lumayan untuk cemal cemil. Semula tujuan saya berikutnya adalah Bukit Gombel untuk melihat city view Semarang dari ketinggian, hanya rasanya malam itu badan lumayan pegal karena seharian jalan. Akhirnya saya balik arah lagi ke arah Tugu Muda, sepertinya lumayan juga untuk menghabiskan malam di kawasan tersebut. Setelah beli beberapa air mineral dan cemilan saya berjalan kaki kembali menyusuri Jalan Pandanaran ke arah Tugu Muda.

Sore hari di Tugu Muda
Tugu Muda malam itu lumayan ramai dan kali ini air mancurnya dinyalakan menambah cantiknya kawasan ini. Kalau siang memang sengaja tidak dinyalakan karena banyak tunawisma yang sering mandi disitu dan terkesan jorok. Tugu Muda merupakan bundaran yang menghubungkan 5 ruas jalan yaitu :
  1. Jalan Pandanaran yang menuju kawasan Simpang LIma
  2. Jalan Dr. Sutomo
  3. Jalan Pemuda yang menuju Pasar Johar
  4. Jalan Imam Bonjol menuju stasiun
  5. Jalan Sugiyopranoto menuju bandara
Tugu Muda di malam hari
Tugu Muda yang berbentuk lilin ini diresmikan oleh Ir.Soekarno pada 20 Mei 1953 dan dilatarbelakangi oleh sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang. Kawasan ini memang dikelilingi oleh bangunan bersejarah di antaranya Lawang Sewu, Wisma Perdamaian, Gereja Katedral dan Museum Mandala Bhakti. Oiya Mas Lurik sempat menyampaikan jika ingin berfoto dengan latar belakang Lawang Sewu secara utuh harus dari Kawasan Tugu Muda ini.

Saya pun memilih untuk duduk di rumput sambil memandangi si cantik Lawang Sewu kala malam hari. Tampak beberapa pemuda pemudi sedang duduk-duduk dan berdiskusi, tampaknya sebuah komunitas. Ada juga komunitas bartender freestyle yang sedang juggling botol, hmm lumayan menjadi hiburan yang menarik untuk saya yang sedang sibuk makan lumpia dan mendengarkan musik hehehe.

Hanya di kota orang saya bisa begini hehehe
Hari semakin malam dan udara semakin dingin, rasa kantuk pun mulai datang setelah lelah seharian ekplorasi Kota Semarang. Saya pun naik angkot menuju kawasan Simpang Lima dengan ongkos Rp. 3000 dan sempat mampir berkeliling di Simpang Lima sebentar sebelum akhirnya saya memberhentikan taxi dan menuju hotel. Saatnya beristirahat untuk memulai petualangan berikutnya di kota lain selama beberapa hari ke depan.

Foto :
http://semarangkuliner.com/401/bandeng-juwana/
Dokumentasi Pribadi

Solo Traveling to Semarang (Part 5) - Lawang Sewu

Salah satu landmark kota Semarang yg wajib dikunjungi jika mampir ke kota ini pastinya adalah Lawang Sewu. Sering juga dijadikan sebagai tempat uji nyali karena keseramannya. Penasaran dengan sejarah gedung tua ini, saya pun merapat setelah menyicipi makanan di Toko Oen. Dari Toko Oen saya berjalan kaki ke arah selatan kira-kira 20 menit melalui trotoar yang sangat rapi di sepanjang jalan.

Lawang Sewu setelah Pemugaran
Siang itu cukup terik jadi saya dengan ala-ala dan cuek membuka payung, panaaasss sobh. Jalan kaki di Semarang ternyata lumayan nyaman, tidak ada yang mengganggu seperti di Jakarta hehehe dan tentunya tidak insecure, entah rasanya aman saja terkendali. Saya pun berjalan santai sambil melihat kiri kanan. Sempat melewati bundaran yang ada mall baru, sepertinya sedang hits karena pintu masuknya tampak padat oleh mobil-mobil. Semarang juga punya transportasi dalam kota Trans Semarang, hmm lain kali harus coba untuk berkeliling. Sebelum sampai di Lawang Sewu saya sempat melewati kantor Walikota Semarang yang bangunannya tampak tua dan spooky hii sepertinya seumuran dengan Lawang Sewu karena lokasinya berdampingan.

Trotoar yang rapi
Sampailah saya di loket masuk, dengan membayar Rp.20.000 kita bebas berkeliling sampai puas. Beberapa mas-mas berbaju lurik dan ikat kepala khas Jawa Tengah menawarkan diri untuk menemani, oh ternyata mereka guide. Saya pun tertarik namun saya tunda karena buru-buru mencari toilet. Toiletnya menyeramkan huhuhu tapi bismillah saja. Keluar dari toilet saya menghampiri mas-mas berbaju lurik dan minta ditemani berkeliling. Dia menyampaikan bahwa biayanya Rp.30.000 saya pun mengiyakan. Sang guide agak heran karena saya sendirian, ia pun bertanya mana rombongan saya, hihihi.

Mas nya ini (maaf saya lupa namanya) baik sekali, sangat ramah dan selalu bersemangat walaupun harus terus mengoceh bercerita sepanjang kami berkeliling. Ia pun tak segan untuk membantu saya mengambil foto dan menjalankan tugas dengan sangat baik ketika menjelaskan sejarah Lawang Sewu.

Saya pun baru tahu ternyata Lawang Sewu merupakan kantor pusat perusahaan kereta api (trem) penjajah Belanda Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (NIS) yg dibangun pada tahun 1904. Awalnya saya pikir gedung ini digunakan sebagai pusat pemerintahan. Disebut Lawang Sewu (Seribu Pintu) karena memiliki pintu yang sangat banyak walaupun pada kenyataannya jumlahnya tidak tepat seribu. Dulu memang gedung tua ini tidak digunakan dan tidak terawat, yang ada jadi tempat uji nyali orang-orang iseng. 

Gedung depan sudah dicat dan semakin cantik
Lawang Sewu terdiri atas 2 gedung kembar di depan dan belakang, di tengahnya terdapat pelataran dan ada pohon besar yang rindang, lumayan sejuk untuk istirahat duduk di bawahnya. Hari itu lumayan ramai karena banyak rombongan anak sekolah dan ada beberapa pasang kekasih sedang foto pre-wedding. Kami melanjutkan jalan dan masuk ke gedung depan di lantai 1, kebetulan gedung ini baru dipugar dan lantai 1 nya sudah selesai dan rapi dicat jadi lebih cantik dan cukup mengurangi tingkat keseramannya. Kebetulan saat itu sedang ada pameran mengenai sejarah perkereta apian di Indonesia. Ada juga film dokumenter tentang kereta api di Indonesia, tetapi menggunakan bahasa Belanda karena orang Belanda yang membuatnya.

Saat ini Lawang Sewu dirawat dan berada di bawah naungan PT. KAI. Pertama kali dibuka untuk umum adalah pada tahun 2010 setelah sekian lama diabaikan. Hmmm, terbayang seramnya sebelum dibuka untuk umum, pantas saja jadi tempat uji nyali, heuheu. Kata Mas Lurik (sebut saja begitu), banyak sekali dulu yang datang hanya untuk uji nyali, baik yang datang sendiri maupun beramai-ramai. Tetapi jarang sekali mereka bisa keluar dengan aman karena pasti ada saja yang kesurupan. Hmmm. Akhirnya karena punya potensi pariwisata yang tinggi, dibukalah untuk umum. Tapi memang sebelum dibuka dilakukan upacara dulu semacam meminta ijin para penunggu tempat ini agar tidak saling mengganggu. Dari lantai 1 sebetulnya saya ingin sekali naik ke lantai 2 karena terdapat spot menarik yaitu tangga dengan kaca patri besar berwarna-warni yang kalau siang kena sinar matahari sangat cantik. Sayang sekali saat itu masih dalam tahap renovasi, mungkin lain kali bisa mampir lagi hehehe.

Gedung belakang yang masih asli
Kami lanjutkan jalan ke gedung belakang, gedung ini masih asli dan tampak sangat menyeramkan dengan lorong-lorong gelap dan cat dinding yang mengelupas. Saat masuk rasanya adem, hmm mungkin bukan adem yaa tapi lebih tepatnya lembab. Untuk saya ga sensitif jadi ya cuek aja walaupun agak merinding sedikit di beberapa tempat, hehehehe.

Spooky
Pertama masuk Mas Lurik menunjukkan saya pintu menuju ke penjara bawah tanah. Saya sempat melongok ke dalam, terdapat air yang menggenang. Ternyata ruang bawah tanah ini memang sengaja diisi air sebetulnya berfungsi sebagai pendingin gedung karena Semarang kota pesisir dengan udara yang panas. Belanda membangun ini memang sangat terencana dan kokoh, ya mungkin memang pada jaman dulu Belanda berpikir akan lama berada di Indonesia. Buktinya sampai saat ini masih banyak sekali bangunan sisa penjajahan Belanda yang masih bagus dan berdiri kokoh.

Pintu masuk ruang bawah tanah, berani masuk?
Oiya ruang bawah tanah ini berubah fungsi mejadi penjara bawah tanah pada saat masa penjajahan Jepang, sadis ya langsung berubah fungsi jadi menyeramkan. Sebetulnya nantinya akan ada wisata bawah tanah, jadi wisatawan akan dikasih sepatu bot dan senter tapi saat itu masih ditutup karena sedang direnovasi total. Hmm, kalaupun sudah dibuka terima kasih lah saya tidak minat, hiiiii.

Kami pun beranjak ke lantai 2, Mas Lurik bercerita bahwa ada 2 cara menghitung jumlah pintu, kalau Belanda menghitung berdasarkan jumlah daun pintu dan itu tidak sampai seribu. Tetapi orang Jawa menghitung berdasarkan jumlah lipatan di engsel pintu, kira-kira satu pintu ada empat lipatan, Nah, jumlah inilah yang jika ditotal ada seribu lebih. Oleh sebab itulah bangunan ini disebut Lawang Sewu. Jumlah pintu yang sangat banyak ini pun membuat sirkulasi udara lebih baik sehingga udara lebih sejuk.

Seribu pintu
Tengah ruangan dibelah oleh lorong pintu yang jika dilihat memang pintu lorong ini mirip dengan pintu yang ada di gerbong kereta. Lanjut ke arah belakang ada area yang ditutup karena atapnya sudah rapuh dan lapuk. Di belakang ada aula panjang, yaitu satu-satunya ruangan luas disini. Pada jaman Belanda ruangan ini sering dipakai untuk party, mereka sangat senang sekali party. Setelah jaman penjajahan, gedung ini sempat dipakai ABRI untuk basecamp dan aula ini dipakai untuk barak tentara.

Mirip di dalam gerbong kereta
Di depan aula ada beranda yang menghadap tanah luas berilalang. Di bawahnya terdapat parit kecil, konon jaman dulu parit ini dalamnya hingga 2 meter dan dijadikan tempat pembuangan mayat pada masa penjajahan Jepang. Mayat-mayat yang dibuang disini akan langsung mengalir ke laut makanya tidak bau. Oleh sebab itulah di muara sungai sering ditemukan mayat-mayat bergelimpangan.  *merinding*

Tempat party Wong Londo
Tempat pembuangan mayat *doh*
Kami lanjutkan explore ada tangga lagi ke lantai 3, looh saya pikir bangunan ini hanya 2 lantai tapi mengapa ada lantai lagi di atas. Ternyata lantai ketiga sebetulnya tidak digunakan untuk ruangan, hanya berfungsi sebagai ceiling penahan panas agar lantai 2 dan 1 tetap adem. Ruangannya sangat luats tapi rasanya lebih panas dibandingkan dibawah karena atapnya langsung pakai genteng. Saat jaman penjajahan Jepang, ruangan ini dipakai untuk gudang senjata dan amunisi. Saat dipakai oleh ABRI ruangan ini sebagai aula tempat pertemuan dan pergelaran wayang juga dijadikan tempat olahraga, oleh sebab itu masih ada sisa cat di lantainya berbentuk lapangan bulu tangkis dan di ujung ruangan terdapat panggung kecil sebagai tempat hiburan. Di dekat panggung banyak sekali kalelawar jadi agak tercium bau menyengat. Di ujung ruangan ada tangga permanen dari besi yang berfungsi untuk benerin genteng. Hmm, sangat terencana.

Tangga menuju "Lantai 3"
Luas banget ya
Di lantai 1 gedung belakang ini ada pameran foto, terlihat beberapa foto bahwa Lawang Sewu sempat beberapa kali digunakan untuk event besar semacam gala dinner maupun acara pertunjukan di pelataran untuk program Visit Jateng. Terbayang ritual sebelum pelaksanaan eventnya, hehehe. Juga ada satu foto yang membuat saya cukup merinding, yaitu foto seorang pribumi yang sedang menjajakan asongannya sambil berlutut di depan Belanda. Harus berlutut mencerminkan kesenjangan sosial yang sangat luar biasa antara pribumi dan Belanda pada masa itu.

Pribumi berlutut menjajakan asongannya
Di depan gedung depan terdapat lokomotif yang awalnya saya pikir replika, ternyata lokomotif betulan. Dulu di simpangan Tugu Muda adalah perlintasan kereta api atau trem yang merupakan jalur logistik. Pada oleh Ir. Soekarno dibongkar karena jika dibiarkan akan terjadi kemacetan parah. Di depan loko terdapat Tugu Serangan Umum 1 Maret. 

Loko, lokal dan saya
Explore lagi di samping gedung terdapat sumur yang konon kedalamannya mencapai 1 km dan alhamdulillah sampai hari ini airnya masih melimpah. Sumur ini memang dibuat diperuntukan kebutuhan air di gedung ini. Di dekat sumur adalah toilet yang pertama kali saya sempat mampir dan ternyata toilet ini masih asli belum dipugar sedikit pun. Pantas saja heuheu. Dari luar, interior toilet ini terlihat menyerupai wajah.

Toiletnya belum dipugar sama sekali
Toilet merupakan tugas akhir dari Mas Lurik, saya pun berterima kasih banyak karena sudah ditemani berkeliling dan dijejali ilmu sejarah. Saya menyerahkan selembar Rp.50.000 dan pamit berkeliling lagi untuk sholat dan foto-foto bangunan. 

Temaram lampu di Lawang Sewu menjelang malam
Hari mulai sore dan sepi, udara semakin dingin dan jujur saja suasana semakin seram terutama di gedung belakang yang belum dipugar. Saya pun melangkahkan kaki keluar mencari makanan hangat, bakso gerobak adalah pilihan utama. Saya pun menghabiskan sore itu dengan semangkuk bakso sambil menikmati keramaian alun-alun Tugu Muda dan berbincang dengan Bapak Penjual Bakso. Hari mulai gelap, Lawang Sewu pun tampak semakin cantik ketika lampu-lampunya mulai dinyalakan.

Foto : Dokumentasi pribadi


Selasa, 22 April 2014

Solo Traveling to Semarang (Part 4) - Toko Oen

Setelah puas berkeliling Klenteng Sam Poo Kong, saya pun bergegas ke destinasi selanjutnya yaitu Toko Oen. Menurut security tidak ada angkot menuju sana dan beliau menyarankan saya agar naik taxi saja. Pas kebetulan sekali ada sepasang turis Jepang baru turun taxi di depan gerbang, langsung saja saya bergegas menuju taxi tersebut. Salah satu hal menarik dari solo traveling adalah kita menjadi lebih peka dan lebih sering berinteraksi dengan warga lokal, rasanya menyenangkan, hehe. Saya pun berbincang banyak dengan sang supir taxi yang berasal dari Demak tetapi sudah lama mencari nafkah di Semarang. Beliau menyampaikan bahwa mulai tidak nyaman dengan kota Semarang karena semakin ramai dan mulai macet, padahal dulu tidak.


Sejak 1936
Banyak berbincang, sang driver pun menunjukkan saya Lawang Sewu dan Tugu Muda karena kami melewatinya dalam perjalanan menuju Toko Oen. Beliau menyarankan saya untuk naik bis 3/4 atau bisa jalan kaki saja dari Toko Oen menuju Lawang Sewu. Tak lama taxi sudah berhenti di depan Toko Oen, saya pun mengeluarkan kocek Rp. 20.000 dan berterima kasih kepada sang driver.

Siang itu Toko Oen sangat sepi, dari informasi yang saya dapatkan konon paling enak makanan disini adalah bistik lidah sapi. Saya pun meminta daftar menu kepada sang pramusaji. Ternyata harga bistik sapinya lumayan mahal hehehe Rp. 85.000, hmm sepertinya lain kali saja saya mencobanya. Akhirnya saya memesan kroket, risol, es krim tradisional yang katanya enak dan best seller yaitu Oen Shymphony serta tidak lupa es teh manis hehehe.


Mari santap!
Restoran ini memang sudah ada dari jaman Belanda, desain interiornya pun dipertahankan masih jadul kecuali toiletnya yang sudah bagus. Makanan yang dipesan pun datang, ternyata risol dan kroket itu mirip, maklum saya kurang paham makanan. Keduanya disajikan dengan saus kental berwarna putih yang rasanya asam seperti acar. Karena saya tidak begitu suka dengan sausnya, akhirnya saya menikmati keduanya pakai sambal botolan, hihihi. 

Kroket dan risolnya enak, garing di luar tetapi lembut dan creamy di dalam. Es krimnya terdiri dari 5 scoop kecil kemudian diberi wheep cream dan 2 lembar lidah kucing. Es krim nya memang dibuat dengan resep tradisional, menurut saya sih rasanya mirip dengan es Ragusa. Total yang saya keluarkan untuk mencicipi makanan di Toko Oen ini Rp. 45.000. Sebelum hari mulai sore saya pun bersiap menuju Lawang Sewu. 

Senin, 21 April 2014

Solo Traveling to Semarang (Part 3) - Klenteng Sam Poo Kong

Walaupun destinasi ini ada di itinerary list, tapi saya bisa sampai di lokasi secara tidak sengaja ketika sedang dalam perjalanan naik bis kecil dari Watugong menuju Lawang Sewu. Ketika dalam perjalanan saya melihat petunjuk jalan di sebuah persimpangan yang mengarahkan saya ke Klenteng cantik ini. Saya pun bergegas turun yang diikuti sang kondektur yang sempat heran karena pada awalnya saya minta diturunkan di Lawang Sewu, tetapi mendadak turun di tengah jalan hehehe.

Sam Poo Kong
Di persimpangan jalan menuju Sam Poo Kong saya memberhentikan angkot berwarna merah yang ternyata tidak melewati klenteng ini, tapi sang supir menawarkan akan mengantarkan sampai klenteng dengan biaya Rp. 10.000. Saya pun mengiyakan karena memang tidak tahu jalan. Tak berapa lama saya sudah berada tepat di depan gerbang Klenteng Sam Poo Kong yang ternyata tidak begitu jauh dari persimpangan, heuheu rasanya agak sedikit tertipu oleh bapak supir angkot tadi, tapi yasudahlah toh saya sudah sampai dan siap menikmati perjalanan berikutnya.

Tulisan besar di dekat gerbang depan
Di depan gerbang terdapat tulisan SAM POO KONG yang sangat besar, siapkan uang Rp.10.000 untuk satu tiket masuk. Dari arah pintu masuk di kiri terdapat musholla dan di sebelah kanan terdapat semacam pendopo yang menjual makanan minuman, juga terdapat booth yg menyediakan jasa sewa baju ala kekaisaran China untuk berfoto. Biayanya Rp.80.000 sudah termasuk sewa baju dan foto. Saya tidak mencoba karena sadar sedang jalan sendiri hehehe sepertinya foto-foto di booth itu lebih seru jika datang bersama teman-teman.

Bisa sewa baju kaisar disini
Di depan pendopo ada taman yang sangat rindang dan terdapat bangku-bangku taman serta lampion-lampion cantik berwarna merah. Cobalah untuk duduk di bawah pepohonan ala Tiongkok yg rindang sambil menikmati makan siang dan suasana klenteng yg cantik. Rasanya seperti sedang berada di negeri China, hehehe serius! Atmosfernya begitu berbeda, hehehehe. 

Adem
Tepat di depan taman terdapat pelataran yang sangat luas, semacam tempat latihan kalau di film-film Kung Fu. Hari mulai terik, sebelum ekplore Klenteng saya memilih untuk duduk manis sambil mengeluarkan cemilan. Siang itu klenteng lumayan ramai, banyak sekali wisatawan baik keluarga maupun yang berpacaran.

View saat saya ngemil :p
Peta Area Sam Poo Kong
Klenteng cantik dengan warna merah dominan ini terletak di daerah Simongan Semarang dan sering diebut juga Kuil Gedung Batu. Klenteng Sam Poo Kong merupakan sebuah kompleks klenteng yang terdiri dari 2 area utama. Area pertama terdapat lapangan luas dan patung besar Laksamana Cheng Ho kemudian di ujung lapangan terdapat gerbang raksasa khas tempok China, konon katanya mirip dengan yang ada di Lapangan Tianan Men, Beijing. Area kedua yaitu area yang terdiri dari kuil-kuil untuk beribadah, goa, serta kuil yang di dalamnya terdapat makam dan Kyai Jangkar. Kyai Jangkar adalah sebuah Jangkar besar yang diyakini sebagai jangkar kapal Laksamana Cheng Ho. Konon klenteng ini merupakan bekas tempat persinggahan laksamana muslim Cheng Ho. 

Saya in frame, minta difotokan oleh sepasang kekasih :D
Setelah matahari beranjak turun, saya pun mulai berkeliling area pertama dan tentu saja tidak lupa berfoto. Area kedua yang terdiri atas kuil-kuil dipisahkan oleh kolam ikan yang cukup lebar. Untuk bisa ke area tersebut di ujung depan terdapat loket masuk dengan biaya tiket Rp. 20.000. Kali itu saya tidak memilih masuk karena sedang irit hehehe, sepertinya sudah cukup menikmati dari seberang kolam.

Semacam aula dengan patung-patung cantik di sampingnya

Patung besar Laksmana Cheng Ho

Sejarah Laksmana Cheng Ho
Gerbang Raksasa mirip di Tianan Men
Area beribadah yang dipisahkan oleh kolam ikan
Area beribadah yang dipagari
Lilin raksasa dekat dengan area ibadah
Walaupun merupakan tempat wisata, klenteng ini juga masih digunakan sebagai tempat peribadatan. Ada baiknya walaupun kita sedang berwisata tetapi harus tetap menghormati umat yg sedang beribadah. Lain waktu sepertinya harus datang kembali saat ada perayaan, sudah terbayang keseruannya, hehehe.

Foto : Dokumentasi Pribadi

Minggu, 20 April 2014

Solo Traveling to Semarang (Part 2) - Pagoda Avalokitesvara Watugong

Hari kedua di Semarang saya sudah mempunyai rencana perjalanan akan kemana saja namun sayangnya saat itu saya masih belum memiliki peta wisata. Sehingga belum tahu prioritas rute agar dapat memaksimalkan waktu seharian. Pagi sekali saya sudah mandi dan bersiap untuk menjelajah kota, saya menuju receptionist untuk meminta peta, sayangnya di hotel tidak disediakan peta dalam bentuk print out tetapi peta tersebut terpampang besar di dinding area lounge. Maka saya pun bergegas mengamati peta dengan seksama untuk mencari titik-titik terdekat tempat wisata dengan hotel.

Kemungkinan paling efisien adalah rute Pagoda Watugong - Klenteng Sam Poo Kong - Toko Oen - Lawang Sewu - Tugu Muda - Jl. Pandanaran. Saya memilih Pagoda Watugong sebagai objek pertama karena lokasinya yang paling jauh dan ternyata memang cukup jauh hehehe. Siap dengan rencana perjalanan, pukul 07.00 saya pun melangkahkan kaki dengan backpack berisi makanan dan minuman. Sebetulnya saya masih buta arah apakah harus melangkahkan kaki ke kiri atau kanan hotel, setelah melangkahkan kaki dengan mantap ke kiri, ternyata saya salah arah hehehe lagi-lagi navigasi saya kacau. Akhirnya saya pun bertanya kepada pedagang kaki lima kemana arah untuk mencapai Pagoda Watugong.


Pagoda Watugong
Ternyata jalan raya sekitar hotel sangat sepi, angkot dan taxi jarang sekali yang lewat. Tak sabar menunggu saya pun berjalan kaki sampai akhirnya ada angkot lewat hehehe. Saat naik angkot pun sebetulnya saya belum tahu harus turun dimana, sampai menemukan jalan besar saya pun turun kemudian bertanya lagi kepada tukang loper koran yang kebetulan saya temui. Ternyata saya turun di tempat yang tepat walaupun sebetulnya agak ngasal hahaha. Daerah saya turun adalah kawasan Pasar Kambing, walaupun saya hanya melihat 3 ekor kambing saja yang dijual di pinggir jalan. Dari pertigaan Pasar Kambing saya harus naik angkot ke arah Banyumanik/Semarang atas (kebetulan jalanannya menanjak jadi memudahkan hehehe). Sebelum naik angkot saya memastikan tidak salah naik, menurut informasi sang sopir saya harus naik angkot ini kemudian nanti dilanjutkan dengan bis ke arah Ungaran. Rata-rata ongkos yang dikeluarkan sekali naik angkot adalah Rp. 3000.


Kawasan Pasar Kambing yang sangat sepi
Sekitar 30 menit saya menghabiskan waktu naik angkot, ternyata pemberhentian berikutnya lumayan jauh. Saya ingat sekali angkotnya melewati kawasan Bukit Gombel, kemudian gerbang Universitas Diponegoro. Akhirnya sang sopir pun memberitahukan saya harus turun dan melanjutkan perjalanan dengan bus di depan yang sedang mengetem. Perjalanan pun dilanjutkan dengan bis 3/4 selama 10 menit, saya duduk di samping seorang ibu yang mengajak berbincang dan tanpa segan bercerita mengenai hidupnya. Saya pun mendengarkan dengan seksama dan menerima nasihat yang beliau utarakan. Sampai akhirnya terlihatlah ujung pagoda dari kejauhan, saya pun pamit kepada ibu tersebut yang diakhiri dengan mendoakan saya agar disegerakan mendapat jodoh yang baik, aamiin. Terima kasih ibu.

Akhirnya setelah perjalanan yang sangat panjang hehehe, sampailah saya di pintu gerbang Pagoda Avalokitesvara yang berlokasi di seberang Markas Kodam IV. Daerah Watugong memang berada di Semarang atas sehingga udaranya lebih sejuk, rimbunnya pepohonan di kawasan pagoda membuat udara semakin sejuk dan nyaman. 

Saya pun permisi kepada security yang sedang bertugas apakah saya boleh masuk ke pagoda. Bapak dari timor itu pun dengan ramah mempersilakan saya masuk, silakan berkeliling katanya. Jalanan menuju pagoda ditumbuhi oleh pepohonan rindang di sisi jalannya. Pohon-pohon ini ditempeli kata-kata bijak berupa nasihat hidup, sepertinya potongan ayat dari kitab suci. Saya pun membacanya satu per satu, ada satu nasihat hidup yang saya ingat sampai sekarang yaitu :
"ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya", selama seseorang masih menyimpan pikiran-pikiran semacam itu maka kebencian tak akan pernah berakhir" - Dhammapada 3
Untuk perenungan
Di ujung jalan terdapat tangga menanjak menuju pagoda, di sisi kiri terdapat tulisan Pagoda Avalokitesvara Buddhagaya Watugong. Menaiki tangga kita akan disambut oleh rindangnya pohon Bodhi (Ficus Religiosa) dengan patung Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih) dan Sang Budha berwarna emas di bawahnya. Di setiap ranting pohon Bodhi digantung kertas-kertas doa berwarna merah. Konon pohon Bodhi ini ditanam oleh Bhante Naradha Mahathera pada tahun 1955 dan didatangkan langsung dari India. Tampak ada seorang ibu yang sedang menyapu pelataran pohon Bodhi, saya pun permisi kepada ibu tersebut yang disambut dengan senyum dan mempersilakan masuk.

Dewi Kwan Im
Tulisan pagoda dan patung Dewi Kwan Im di depan
Sang Buddha di bawah pohon Bodhi yang rimbun
Saya pun takjub dengan bangunan pagoda yang menjulang tinggi di depan saya. Rasanya seperti bukan di Semarang karena sangat oriental sekali. Suasana masih sangat sepi, hanya tampak seorang bapak yang sedang khusyuk beribadah dan seorang traveler wanita yang sedang sibuk memotret. Saya berjalan berkeliling, sekeliling pagoda terdapat kolam teratai dengan ikan koi yang begitu banyak dan besar. Di sisi kanan terdapat balai kecil dan di sebelah kiri terdapat patung kura-kura yang cukup besar dengan ukiran tulisan China di belakangnya.


Patung kura-kura
Tinggi bangunan pagoda adalah 45 meter dengan 7 tingkatan dan diresmikan oleh MURI pada tahun 2006 sebagai pagoda tertinggi di Indonesia. Bagian dalam pagoda benbentuk segi delapan, dari mulai tingkat kedua hingga keenam terdapat patung Dewi Kwan Im  yang menghadap empat penjuru mata angin. Untuk masuk ke pagoda kita diharuskan melepaskan alas kaki, saya pun sempat berkeliling namun sungkan untuk mengambil foto karena khawatir mengganggu kenyamanan bagi yang sedang beribadah. Wangi dupa yang dibakar pun semerbak mengisi ruang udara pagi itu.


Sleeping Buddha
Saya melanjutkan berkeliling ke sisi kiri pagoda yang terdapat tangga turun, disana tampak seorang bapak sedang menyapu dedaunan yang jatuh. Saya pun sempat menyapa dan berbincang sedikit, karena beliau masih sibuk saya pun pamit untuk melanjutkan berkeliling. Di area bawah terdapat Patung Buddha tidur berwarna keemasan yang cukup besar. Di sampingnya terdapat wall sign yang sudah tampak usang bahwa disitu akan dibangun kembali patung Buddha setinggi 36 m namun sepertinya hingga kini tidak pernah terealisasikan.


Hingga kini belum terealisasikan
Di kompleks pagoda ini juga terdapat cottage untuk tamu yang ingin menginap. Di depan cottage terdapat semacam gedung aula 2 lantai, yaitu aula Dhammasala. Saya pun berjalan ke arah depan terdapat sebuah gerbang semacam gerbang tori yang biasanya ada di pintu masuk kuil. Terlihat dari bangunannya sepertinya gerbang tori ini baru saja dibangun. Di depan gerbang tori terdapat monumen batu yang berbentuk menyerupai gong. Penemuan batu inilah yang menjadi asal muasal nama daerah Watugong yang berarti batu gong.


Semacam gerbang tori
Suasana yang sejuk dan damai dengan keasrian lingkungannya serta suasana ala Tiongkok membuat setiap pengunjung baik wisatawan maupun ummat beribadah menjadi betah. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00, saya harus melanjutkan perjalanan menuju Sam Poo Kong. Sebelum pulang saya pamit ke security sambil bertanya jalan menuju Sam Poo Kong. Perjalanan pun dimulai kembali.


Batu Gong
Bersambung ke Part 3

Dokumentasi : Milik pribadi