Selasa, 29 Maret 2016

Suaka Elang Loji - Solo Hiking and Fresh Escape

Solo hiking? Siapa berani?

Hahahaha, ya saya sebenarnya tidak seberani itu untuk melakukan solo hiking, hanya saja kepenatan yang memuncak membuat saya melangkahkan kaki untuk pergi sejenak dari carut marutnya hari. Kabur lagi? Hahaha bukan, ya tidak ada salahnya toh untuk sejenak bermain dengan alam dan menghirup udara segar pegunungan. Travel heals, at least.

Rimbunnya Hutan Pinus Gunung Salak
Suaka Elang Loji, mungkin belum banyak yang tahu, kecuali para pemain instagram, yang mana tempat ini merupakan salah satu lokasi yang cukup hits di dunia para instagramers. Pun tidak terlalu jauh dari Kota Bogor, Suaka Elang terletak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kampung Loji, Kecamatan Cigombong. Kebetulan saya menggunakan moda tansportasi umum, jadi rute yang dilalui adalah melalui jalur Jalan Raya Sukabumi. Dari Terminal Baranang Siang dapat menempuh perjalanan menggunakan mobil L300 jurusan Sukabumi, kemudian turun di Pasar Caringin dan melanjutkan perjalanan menggunakan ojek untuk minta diantarkan ke lokasi. Memang ketika saya bertanya ke beberapa orang, banyak yang tidak tahu mengenai tempat ini, bilang saja hendak ke Kampung Loji, nanti jika sudah sampai bisa bertanya lagi untuk lebih detail jalan menuju lokasi.
Petunjuk arah terakhir di area persawahan
Bagi pengguna motor, jalanan menuju lokasi memang agak sulit karena jalanannya berbatu dan rusak, jika sudah sampai di sebuah bukit dekat tambang batu dapat memarkirkan motor, sisanya bisa berjalan kaki. Baiknya memang membawa bekal makanan dan minuman karena warung terakhir hanya ada sebelum wilayah persawahan, sisanya anda tidak akan menemukan warung lagi karena semuanya hutan hehehe.

Area persawahan
Trek pertama yang dilalui adalah area persawahan, ketika saya melintas memang terlalu pagi sehingga halimun/kabut turun begitu tebalnya. Saya sempat berhenti dan berjalan mundur karena ragu untuk melintasi kabut dan sempat terdiam untuk beberapa saat menunggu matahari naik agar kabut segera hilang. Sejauh beberapa kali pengalaman saya mengunjungi kaki Gunung Salak, kabut di kaki gunung ini memang sangat tebal, agak khawatir terjatuh atau tersesat karena berjalan sendirian, jadi lebih baik menunggu diam sampai kabut tersebut hilang.

Halimun

Kabut tebal
Kabut perlahan hilang
Matahari mulai naik dan kabut pun perlahan hilang, alhamdulillah, saya melanjutkan perjalanan kembali, melintasi sungai dan memasuki hutan pinus. Ikuti saja jalan setapak yang sudah dibuat rapi, walaupun tidak ada petunjuk yang jelas, jalan yang rapi pun dapat dijadikan petunjuk arah. Di kejauhan sebelah kiri tampak terlihat sebuah bangunan yang harus dilintasi melalui jembatan gantung. Di depan jembatan gantung terdapat sebuah pos registrasi yang pagi itu tampak kosong dan tutup, sepertinya saya kepagian, waktu masih menunjukkan pukul 07.00 hehehe. Kepagian tapi udaranya memang sangat luar biasa segarnya.

Bebatuan melintas sungai
Pos registrasi yang masih tutup
Saya melintasi jembatan gantung yang bergoyang sangat luar biasa, agak mengerikan sebetulnya dan harus berhati-hati karena ada ada beberapa pijakan kayu yang tampak sudah lapuk. Jembatan ini melintas di atas sungai dengan ketinggian sekitar 15 meter, lumayan tinggi. 

Jembatan gantung
Ketinggian jembatan di atas sungai
Bangunan yang terlihat dari kejauhan merupakan tempat tinggal penjaga dan pusat informasi. Saya melongok ke dalam rumah, tampak seorang pemuda yang sepertinya baru bangun tidur. Saya mohon ijin untuk melihat koleksi elang dan berjalan-jalan sekitar kawasan. Untuk sampai di air terjun Cibadak, katanya harus naik ke atas dan hiking sekitar 45 menit. Namanya Mas Joni, katanya harus registrasi terlebih dahulu, tapi karena dia baru bangun, nanti saja agak siangan. Hehehe, saya memang kepagian ya. Di depan pusat informasi terdapat sebuah dek atau dermaga dari kayu, cukup besar, namun sayang sudah lapuk, terdapat peringatan di kaca untuk tidak melintas. Melihat kondisinya yang lapuk, saya pun tidak berani untuk menuju dek. Sayang sekali, tidak dibenahi, padahal sangat menarik.


Dek yang sudah lapuk
Saya menikmati udara segar di bawah rimbun dan tingginya pepohonan pinus. Penasaran seperti apa Curug Cibadak, saya melangkahkan kaki di antara rimbunnya pepohonan. Trek pertama masih adak lebar dengan kiri dan kanan pohon pinus, semakin lama trek semakin sempit, pepohonan mirip pohon kopi yang rimbun dan semakin gelap. Keringat mulai mengucur deras di pagi yang segar itu, hmm nikmatnya. Kira-kira separuh jalan, saya melihat di depan, kabut perlahan turun kembali, sangat tebal. Agak ragu karena sendirian di tengah hutan, saya mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan dan kembali mundur turun. Hanya 2 hal yang saya khawatirkan saat solo hiking ini, yaitu binatang buas misalnya ular atau harimau dan kabut. BInatang buas, saya tidak mungkin mampu melawannya dan kabut tebal bisa menyesatkan. Di tengah hutan rimba seorang diri membuat saya merasa kecil dan tidak berdaya, tapi tenang saja, saya punya Allah yang akan melindungi.


Segarnya wangi pinus
Siap hiking

Jalur hiking yang mulai rapat
Saya turun kembali ke pepohonan pinus dan duduk sejenak menunggu matahari agak lebih tinggi agar kabut di atas hilang. Serombongan siswa-siswi SMK pun melintas menyapa saya yang sedang duduk, mereka hendak ke Curug Cibadak. Saya pun tersenyum dan mengikuti dari belakang, lumayan ada teman jalan, hehehe. Sekitar 30 menit dari mulai trek landai, hingga trek berbatu dan semakin lama semakin berat karena harus mengangkat dengkul bertemu dada, tandanya curug sudah semakin dekat. Keringat yang mengucur sangat deras sebentar lagi akan terbayar.


Bersama dedek-dedek SMK

Salah satu trek
Jembatan di sisi jurang
Jika sudah menemukan jembatan kayu di sisi jurang, maka curug sudah sangat dekat. Suara air deras pun mulai terdengar dan di depan mata terhampar Curug Cibadak yang cantik. Curug Cibadak, salah satu kecantikan di kaki Gunung Salak berada di ketinggian kurang lebih 900 mdpl. Curug ini tidak begitu besar, aliran airnya kecil dan tampak seperti selendang putih yang tergerai di antara bebatuan dan hijaunya pepohonan. Curug ini terbagi menjadi dua aliran utama dan sumber aliran berasal dari air terjun di atasnya lagi. Di tebing sebelah kanan pun terdapat curahan air yang dibawahnya air dialirkan melalui pipa seperti pancuran, saya sempat mencicipi airnya, wah rasanya segar sekali, lumayan bisa mengisi ulang botol minum dengan air mineral pegunungan asli langsung dari sumbernya, hehehe.


Cantiknya Curug Cibadak
Me and waterfall
Pancuran air mineral
Sempat bermain air dan bercanda dengan anak-anak kelas X SMK, ah anggap saja saya sedang mengasuh adik-adik. Mereka pun minta difotokan berkali-kali, bermain air dan tawa mereka lepas, seperti tanpa beban. Saya pun ikut tertawa dan tersenyum melihatnya. Kata seseorang dari mereka, ia takjub melihat saya hiking seorang diri. Hahaha, tidak tahu saja dia, saya beberapa kali berhenti dan melangkah mundur hanya karena bertemu kabut, hehehe. Setelah beristirahat dan membasuh muka, saya pamit kepada mereka untuk turun lebih dulu, kata mereka "Hati-hati ya kakaaaaaaak..!"


Nice to meet you dedek-dedek
Saya pun turun sambil mendengarkan musik, seperti biasa jalan pulang selalu terasa lebih dekat dan cepat. Tak lama saya sudah sampai di hutan pinus, di pos registrasi saya bertemu dan berbincang sebentar dengan Mas Joni. Biaya registrasi sangat murah, saat itu hanya Rp. 7.500 saja. Saya sampaikan bahwa saya baru turun dari Curug Cibadak, tadi sempat naik bersama rombongan anak-anak SMK. "Kirain saya mbak udah pulang hehehe..istirahat dulu mbak, kalo mau lihat elang ikutin aja jalan setapak ke kiri" katanya.

Belum terlalu lelah, saya pun pamit untuk melihat koleksi elang yang sedang ditangkarkan. Dari 5 buah kandang yang tersedia, hanya 3 ekor elang yang tampak. Saya kurang paham mengenai jenis-jenis elang ini, ukurannya memang besar dan suaranya kencang saling bersahut-sahutan. Katanya elang-elang ini diambil dari elang yang warga tangkap kemudian ditangkarkan dan dirawat disini.





Tengah hari saya pun turun pulang, perut mulai keroncongan. DI warung dekat area persawahan, saya mampir untuk mengisi perut. Semangkuk mie instant + telur menjadi menu siang itu. Beberapa orang tampak naik ke arah Suaka Elang, wow siang sekali. Ada beberapa yang saya sapa, ada yang hendak berkemah ada pula yang hendak ke curug. Rombongan anak-anak SMK pun terlhat turun dan menyapa saya kembal "Kaaaaak, duluan yaaaa..." sambil saya melambaikan tangan.

Selesai menyantap makan, saya berjalan pulang ke arah sebuah bukit tempat memarkirkan kendaraan. Bukit ini memiliki nama ternyata, Bukit Kagagas namanya. Sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, sebetulnya merupakan bukit yang dikeruk dan diambil batunya. Tampak beberapa area sudah tergerus, bahkan ketika saya datang ada truk dan beberapa orang yang tampak sedang mengangkut bebatuan. Saya ijin untuk mendaki, di sisi timur tampak jalur untuk mendaki, "Naik aja teh, kalo mau foto-foto di atas bagus.."


View dari atas Bukit Kagagas
Jalur mendaki berupa undakan-undakan tangga yang tiap anak tangganya membuat tempurung lutut bertemu dada. Di atas bukit tampak sebuah rumah kecil dari kayu, saya beristirahat sejenak. Tampaknya bukit ini jarang dikunjungi orang, kecuali para penambang batu, karena rumputnya sangat tinggi terlihat jarang dipijak. Rerumputan ilalang tumbuh subur di atas bukit ini, tertiup angin, cantik. Di kejauhan tampak cityscape dan landscape hijau, tampak pula danau lokasi pertambangan batu di kejauhan.
Rumah kayu di atas bukit
Galian batu terlihat dari kejauhan
Padang Ilalang
Tubuh sudah mulai lelah, saya menuruni bukit dan berjalan pulang. Terima kasih Gunung Salak, atas pengalamannya hari ini, Solo hiking dan fresh escape! Betul-betul segar, alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas limpahan rahmat-Mu. Alhamdulillah masih bisa merasakan nikmatnya sehat, berkeringat dan udara segar hari ini. Kembali merasa kecil dan tidak berdaya, kecuali dengan perlindungan dan kuasa-Nya. Serahkan semuanya pada-Nya karena rencana Allah pasti yang terbaik, aamiin.

Foto :
Dokumentasi Pribadi

Sabtu, 26 Maret 2016

"Keresahan"


Aku : Hai! Aku, rindu. Kamu siapa?

Kamu : Aku? Entahlah. Mau membantu mencari tahu?

Aku : Mau. Tentu saja mau. Apa yang kamu ingat?

Kamu : Mau duduk terlebih dahulu? Aku lelah. Sambil menyeduh kopi, mungkin?

Aku : Jangan kopi. Cokelat hangat, adakah? Aku ingin menikmatinya didampingi pelukanmu, boleh?

Kamu : Pelukanku? Kamu siapa? Kamu orang asing bagiku.

Aku : *kebingungan* *tampak berjalan menjauh*

Kamu : Ah, kenapa menjauh? Bukankah kamu bilang kamu akan membantuku? Hanya harapan kosong, kah?

Aku : Siapa yang menjauh? Ini aku di pojok hatimu, menunggu waktu. Menunggu kamu membukakan pintu untuk masuk ke sana.

Kamu : Apa yang kamu lakukan di sana? Mau sampai kapan menunggu?

Aku : Sampai kamu mau *tersenyum* *buat tenda*

Kamu : Di luar dingin. Lebih baik di dalam

Aku : *tersenyum* *melangkah mendekat*

Kamu : Maksudku, masuklah ke tendamu *sambil tergelak*

Aku : Baiklah. Kalau begitu, biar aku di luar saja, agar hati kamu terlihat. Jadi jika ada apa-apa aku bisa cepat bertindak.

Kamu : Hatiku punya self-healing

Aku : Kalau begitu, biar aku yang jaga. Aku akan berusaha agar hatimu tidak terluka. Jadi, self-healing tak ada pun, kamu tak apa

Kamu : Di dalam situ terlalu berbahaya, nanti kamu sendiri yang terluka, bagaimana?

Aku : Biarkan. Aku tak apa. Aku hanya akan terluka, saat kamu terluka.

Kamu : Kalau hati kamu sendiri bagaimana? Uuumm, tak apa kan kalau aku bertanya seperti itu?

Aku : Hatiku? Sudah lama mati sebenarnya. Tapi, kamu, membuatnya berdetak lagi

Kamu : Aku? Tapi kita baru saja bertemu. Atau, kita pernah bertemu sebelumnya?

Aku : Entah, aku juga tak sadar. Yang aku tau, baru kamu yang bisa membuat hati ini berdegup lagi. Itu saja, alasan yang cukup buatku.

Kamu : Ah, coklat hangatnya sudah mulai dingin. Minumlah dahulu. Sambil menyusuri jalan di depan, mungkin?

Aku : Boleh sambil menggenggam tanganmu?

Kamu : Boleh. Tapi, jangan terlalu erat, pun terlalu longgar

Aku :  *tersenyum*

Kamu : Tapi, jalan di depan terlalu berbahaya. Masih mau menyusurinya?

Aku : Tentang itu, sejak awal pun aku tau. Bagaimana dengan kamu? Aku lebih banyak pemaklumannya

Kamu : Pemakluman seperti apa? Aku tidak mengerti

Aku : Kita bicarakan dengan secangkir cokelat hangat yang baru, bagaimana?

Kamu : Baiklah..

*bersambung*
*ditulis dengan rindu yang tak kunjung bersambung*

Repost :
http://spidertazmo.tumblr.com/post/133183447932/01-keresahan

Goa Buniayu - Going Into The Darkness

Telusur goa atau caving di goa alami merupakan pengalaman pertama saya menjelajah kegelapan. Tidak pernah tahu sebelumnya apakah saya memiliki riwayat claustrophobia atau tidak, ketika ajakan ini datang dan saya punya kesempatan, tidak saya tolak. Ya, kalau pun pada akhirnya ketika di lokasi saya ternyata phobia ya sudah mau bagaimana lagi hehehe. Goa Buniayu, Sukabumi menjadi goa alami pertama yang saya jelajahi. Berada di wilayah Cipicung, sering disebut Goa Cipicung atau Goa Siluman. Kata Buniayu diambil dari bahasa Sunda, yaitu "Buni" dan "Ayu" yang memiliki arti "kecantikan yang tersembunyi" dan memang betul di antara kegelapan bawah bumi ini memang tersembunyi kecantikan yg mengundang decak kagum.

Selamat datang di kawasan Goa Buniayu!
Berangkat dari Bogor menggunakan kereta menuju Sukabumi, ini pun kali pertama saya menggunakan jalur Paledang - Sukabumi, maklum saja stasiun Paledang ini sudah sangat lama sekali tidak dioperasikan dan baru dioperasikan kembali beberapa tahun lalu. Di sukabumi kami menginap semalam untuk beristirahat dan berpetualang pada keesokan harinya.

Stasiun Paledang sore itu
Travelmates
Setelah mengisi perut dengan bubur ayam khas Sukabumi (tidak hanya Cianjur katanya), kami berangkat menuju daerah Cipicung. Perjalanan mencarter angkot memakan waktu kurang lebih 1 jam perjalanan, lumayan jauh ternyata, jalanannya pun berbelok belok naik turun. Sampai di kawasan Goa Buniayu, kami disambut oleh pemandu yang sudah kami hubungi sebelumnya. Kami dipersilakan untuk beristirahat dan bersiap menggunakan baju caving yang sudah disiapkan. Di kawasan Buniayu ini juga terdapat camping ground dan rumah-rumah kayu yang disewakan untuk menginap, di sekitarnya ditumbuhi pepohonan tinggi nan lebat. Untuk memulai petualangan, kami diharuskan menggunakan wearpack, safety shoes, helmet dan wajib membawa senter atau headlamp lebih baik. 

Suasana kawasan Buniayu yang sangat asri
Camping Ground
Rumah-rumah kayu
Dipilih dipilih bajunya
Genk Naruto siap beraksi!
Sebelum memulai susur goa, kami melakukan briefing terlebih dahulu. Sebetulnya ada 2 jenis perjalanan susur goa, yaitu perjalanan umum yg ditempuh sepanjang 500 m dan lebih santai. Lainnya adalah perjalanan khusus yg ditempuh 4-5 jam dgn peralatan caving khusus dan ditemani pemandu lokal. Tentu saja kalau sudah jauh-jauh kesini harus mencoba perjalanan khusus. Maka kami pun tentu saja akan melakukan perjalanan khusus. Untuk memulai masuk ke dalam goa, kami harus melakukan rappeling karena mulut goa merupakan goa vertikal dengan kedalaman sekitar 18 meter. Oke, ini sangat menantang dan cukup menakutkan sebetulnya, hehhehe.

Rappeling pertama

Belum seberapa dibandingkan masuk mulut goa
Mulut goa adalah celah sempit vertikal dan berbatu tajam, ketika melihat ke dalam celah sama sekali tidak terlihat setitik cahaya pun, betul-betul gelap jadi kita tidak tahu apa yang akan menyambut kita di bawah sana, hanya kegelapan. Giliran saya pun tiba, tali saya melesat ke bawah, mulut tidak berhenti berdzikir, saya takut. Takut jatuh dan membayangkan terbentur bebatuan karang tajam di bawah sana. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Ternyata di bawah celah sempit mulut goa, terdapat sebuah ruangan yang sangat besar, saya pun sempat menyinarkan senter saya ke seluruh ruangan, sangat besar dan lembab dan sepi hanya ada suara kami.

Setelah semua anggota tim turun dengan selamat, kami melanjutkan perjalanan dipandu oleh guide yang siap siaga membantu kami jika kesulitan melewati trek. Trek yang dilalui sangat beragam, mulai dari trek tanah kering, berair, basah, berbatu, banjir hingga berlumpur. Jalan tegak biasa, merunduk, memanjat, rappeling, lompat hingga merayap harus dilalui. Stalaktit dan stalakmit menghias indah di sepanjang dinding goa, terkadang terlihat sangat berkilauan ketika terpapar cahaya lampu senter, akibat mineral yang terkandung di dalamnya. Tetesan air, air terjun hingga sungai bawah tanah yang mengalir deras akan menjadi teman sepanjang perjalanan.

Berpose di kegelapan
Salah satu stalaktit yang menjulang indah
Mirip stalaktit
Sungguh keindahan di dalam kegelapan ini sangat membuat berdecak kagum, subhanallah, masyaallah. Perjalanan 5 jam pun sungguh tidak terasa karena kami begitu menikmati setiap moment perjalanan kami. Salah satu momen yang paling berkesan adalah ketika di tengah perjalanan pemandu akan menginstruksikan untuk duduk beristirahat, pemandu kemudian akan menginstruksikan untuk diam dan mematikan seluruh sumber cahaya. Pada saat itulah kami merasakan yang namanya gelap abadi. Tidak ada setitik pun cahaya, sunyi, senyap, lembab dan hanya terdengar suara tetesan air di kejauhan. Sungguh rasanya luar biasa, kita makhluk yang betul-betul kecil dan tidak berdaya di tengah ciptaan-Nya yang sungguh luar biasa. Tidak terbayang jika harus terjebak di tempat itu, sendiri, tanpa logistik dan tanpa cahaya, hanya bisa berdiam, berdoa dan menunggu. Menunggu pertolongan atau menunggu ajal.

Trek paling sulit menurut saya adalah trek berlumpur karena lumpurnya merupakan lumpur tanah liat yang sangat lengket. Apalagi trek yang ditemui disepertiga akhir perjalanan ini memiliki kedalaman hingga sepinggang orang dewasa. Tak heran sepatu bot kami sering hilang tertelan dan sulit mencarinya. Setelah perjalanan terakhir yang sangat berat, di ujung goa akan terliat tangga yang di ujungnya muncul seberkas cahaya, menandakan akhir perjalanan panjang kami di dalam perut bumi. Alhamdulillah.

After caving
Puas bermain lumpur, keluar goa kami dipandu menuju Curug Bibijilan yang tidak begitu jauh untuk membersihkan diri dari sisa lumpur ataupun sekedar bermain air. Curug ini cukup tinggi dan alirannya deras, namun berundak-undak sehingga sangat nyaman untuk sekedar membersihkan badan dan tiduran di derasnya air yang sangat menyegarkan. 

Main air di Curug Bibijilan
Bersih-bersih lumpur
Terima kasih sudah memperkenalkan saya dengan caving!
Kapok? Sungguh tidak, bahkan saya ketagihan untuk melakukan caving lagi. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk menyambangi goa lainnya, target berikutnya adalah Goa Barat, Kebumen, mudah-mudahan bisa kesampaian, insyaallah, aamiin. Saya juga tertarik untuk melakukan shower climbing, yaitu menyusuri dan memanjat air terjun yang lokasinya tidak jauh dari Curug Bibijilan. Ada yang minat join? Yuk berangkat!

Foto :
Dokumentasi Pribadi

Surabaya - Semerbak Tembakau di House of Sampoerna

House of Sampoerna didirikan sekitar tahun 1862 dan awalnya merupakan bangunan panti asuhan putra yang dikelola oleh Pemerintah Belanda. Kemudian bangunan ini dibeli oleh Liem Seeng Tee pada tahun 1932 dan dijadikan tempat pertama produksi rokok Sampoerna. Kompleks museum ini terdiri atas 3 bangunan utama, bangunan yang paling besar dijadikan museum dan di belakangnya masih dijadikan tempat produksi rokok merek Dji Sam Soe. Sedangkan 2 bangunan yang berada di sayap kanan dan kiri pada jama dulu merupakan rumah keluarga, hal ini diyakini dengan rumah yang berlokasi di dekat pabrik, pihak keluarga dapat memantau berjalannya bisnis dengan lebih cermat. Saat ini bangunan sayap kiri dijadikan cafe dan galeri seni.

Museum House of Sampoerna
Saat memasuki pintu utama, penjaga pintu akan membukakan dengan siaga dan meminta pengunjung untuk memperlihatkan kartu identitas. Hal ini dikarenakan HoS merupakan museum mengenai rokok dan di belakang pun terdapat pabrik rokok, sedangkan rokok memang diperuntukkan bagi usia 18+ sehingga jika ada pengunjung di bawah umur wajib didampingi oleh orang tua. Semerbak harum tembakau dan cengkeh memadu ketika saya memasuki ruangan, ternyata memang di ruangan depan terdapat koleksi tembakau dan cengkeh kualitas 1 dari berbagai penjuru Indonesia yang dihamparkan begitu saja. Selain cengkeh dan tembakau, di ruangan pertama ini ada beberapa koleksi piala, kebaya, sepeda tua milik keluarga Sampoerna. Sepeda tua ini mempunyai nilai historis tinggi karena menjadi saksi bisu perjuangan Liem Seng Tee yang memulai hidup mandiri dan bekerja keras sejak kecil.

Cengkeh dari berbagai wilayah di Indonesia dan sepeda tua
Koleksi kebaya keluarga Sampoerna
Di ruangan berikutnya banyak koleksi foto-foto direksi dan sejarah Sampoerna dari masa ke masa dan yang menarik bagi saya adalah koleksi pemantik api dari berbagai negara, cukup unik. Museum ini memang terbagi menjadi beberapa ruangan yang menampilkan berbagai koleksi yang berhubungan dengan rokok, mulai dari iklan, produk-produk rokok jaman dulu, sampai mesin cetak bungkus rokok dan alat takar untuk laboratorium.

Logo Sampoerna menyambut di ruangan pertama

Foto-foto sejarah mengenai Sampoerna
Warung kelontong dan motor antik
Mesin cetak bungkus rokok
Salah satu koleksi yang menarik perhatian saya adalah koleksi peralatan marching band yang sangat komplit. Ternyata peralatan ini milik tim marching band binaan Sampoerna yang memiliki prestasi tingkat international. Dalam beberapa arsip dijelaskan bahwa tim ini mewakili Indonesia pada Tournament of Roses Pasadena, California, Amerika Serikat pada tahun 1990 dan 1991, wah hebat sekali. Total pemain yang ikut serta adalah sejumlah 234 (Dji Sam Soe) pekerja pabrik termasuk para wanita pelinting rokok, pastinya sangat membanggakan sekali ya bagi mereka.

Peralatan marching band Sampoerna
Di tangga menuju ke lantai 2 terdapat wallpaper yang unik yaitu berbagai iklan rokok Sampoerna pada jaman dulu. Di lantai 2 terdapat galeri souvenir yang dapat dibeli oleh pengunjung. Jika datang pada hari Senin-Sabtu, pengunjung juga dapat melihat langsung melalui kaca besar, kondisi pabrik linting rokok Dji Sam Soe yang terletak di belakang museum. Lebih dari 3000 orang bekerja di pabrik ini dan rata-rata adalah wanita pelinting rokok, ya melinting langsung menggunakan tangan. Kecepatan kerja wanita-wanita perkasa ini adalah 325 batang rokok per jam. Sayang sekali saya datang di hari Minggu dan tidak dapat melihat bagaimana kesibukan pabrik ini.

Iklan rokok di dinding
House of Sampoerna pun mengakhiri perjalanan saya di Surabaya. Walaupun saya tidak suka rokok pun tidak merokok, tapi tidak ada salahnya mengetahui sejarah salah satu perusahaan rokok terbesar dan memiliki sejarah panjang di Indonesia. 

Foto :
Dokumentasi Pribadi