Sabtu, 30 April 2016

Danau Kawah Papandayan dan Totally Strangers

Gunung Papandayan, saya kembali..

Hello Papandayan!
Kali ini dengan teman-teman baru yang belum pernah saya kenal dan temui sebelumnya, totally strangers. Naik gunung dengan orang-orang asing? Hmm why not? Toh jadi lebih tahu bagaimana karakter sebenarnya di pertemuan pertama bukan? Kali ini saya join open trip untuk trekking dan camping di Gunung Papandayan, Garut. Ini adalah kali kedua saya berkunjung ke gunung yang sangat cantik di setiap sisinya. Garut, Swiss van Java menyambut kami di pagi buta itu. Mobil pick up yang telah di carter oleh Tour Leader siap mengantarkan kami ke basecamp hingga ke Camp David. Setelah perjalanan panjang dari Jakarta, kami beristirahat sejenak di basecamp, sebuah rumah makan di daerah Ciburial yang memiliki sebuah danau/situ cantik di belakangnya.
Situ di belakang basecamp Ciburial
Setelah mengisi perut kami berangkat menuju jalur pendakian Gunung Papandayan. Pagi itu tampak awan mendung bergelayut, kami berdoa semoga perjalanan pendakian kami lancar dan cuaca cerah. Beberapa hari ke belakang Garut dan sekitarnya memang selalu diguyur hujan setiap hari. Hal yang saya sukai ketika menumpang pick up menuju Papandayan adalah pemandangan sekitar terutama siluet Gunung Cikuray yang tinggi menjulang di kejauhan. Gagah.

Gunung Cikuray dari kaki Papandayan
Kami memulai pendakian sekitar pukul 07.00, masih sangat pagi. Masih sama dengan pertama kali saya kesini, jalur berbatu dengan yang dihiasi dengan pohon Cantigi nan kokoh di sisi kiri dan kanan. Jejeran bukit-bukit yang menjulang tinggi dan tentu saja asap kawah Papandayan yang mengebul tinggi dan tebal. Jalur kami hari itu adalah Kawah Papandayan - Danau Kawah - Hutan Mati - Pondok Saladah. Jadi trek yang kami lintasi bukan melalui jalur normal seperti sebelumnya saya datang, tetapi langsung menanjak shortcut ke Hutan Mati. Kali itu entah mengapa alhamdulillah langkah kaki saya lebih ringan daripada pertama kali saya trekking disini, entah karena sudah pernah atau logistik yang lebih ringan atau sudah "pemanasan" minggu sebelumnya di Gunung Salak. Atau bisa jadi karena start naik lebih pagi jadi udara lebih segar? Ah yang jelas rasanya lebih santai.

Tidak pernah bosan
Hari yang cerah untuk jiwa yang tidak pernah sepi
Sampai diatas bukit yang banyak warung-warung, kami berhenti untuk beristirahat. Teh manis hangat dan pisang goreng menghangatkan perut saya pagi itu. Alhamdulillah matahari mulai tinggi dan hari tampak sangat cerah dengan birunya langit yang menambah cantiknya Papadayan hari itu. Setelah menitipkan carrier dan logistik kepada salah satu teman yang tidak ikut, kami melangkahkan kaki dengan lebih ringan (karena tidak membawa barang bawaan hehehe) menuju Danau Kawah.

Trek menuju danau
Sungai belerang yang diseberangi
Danau ini terletak tepat di bawah kawah utama, kawah utama adalah kawah belerang dengan asap yang paling besar. Jika dilihat dari bawah, trek nya memang terlihat sangat berbahaya karena asapnya terlihat sangat tebal. Danau pun tidak terlihat karena memang tersembunyi di cekungan dinding kawah. Saya mengetahui keberadaan danau ini dari salah satu postingan di instagram, sebuah danau berwarna kehijauan yang sangat cantik. Jalur menuju danau sebetulnya ada 2, bisa langsung dari bawah tetapi harus siap menghadapi asap belerang yang tebal dan jalur lainnya bisa memotong menurun dari bukit yang ada warung-warungnya. Kami ambil jalur yang kedua. Alhamdulillah tidak ada asap yang melintas sedikitpun, semesta mendukung. Kami harus melewati jalanan berbatu dan berkerikil serta beberapa sungai belerang untuk mencapai ke danau. Terlihat sangat dekat tetapi ternyata cukup jauh.

Danau Kawah Utama Papandayan
Ketika sampai di bibir cekungan, tampak sebuah danau hijau segar dengan gradasi kekuningan di pinggirnya. Masyaallah, sangat cantik. Jauh-jauh lebih cantik daripada foto yang saya lihat di instagram. Di kiri dan kanan danau terdapat tebing yang dapat didaki, dari atas tebing ini lebih terlihat cantiknya gradasi warna danau. Namun, harus berhati-hati karena sangat curam dan licin karena berkerikil. Di belakang danau terbentanglah dengan gagah kawah utama Papandayan yang selalu bergemuruh kencang setiap waktu.

Kawah Utama Papandayan yang bergemuruh kencang
Puas berada di danau kawah, kami pun kembali ke warung untuk mengambil carrier dan melanjutkan perjalanan menuju Hutan Mati. Trek Hutan Mati ini terletak tidak jauh dari warung di sebelah kiri. Jalurnya? Luar biasa menanjak curam, masih tetap berbatu dengan pohon Cantigi yang menancap kokoh. Trek ini lumayan menguras tenaga, saya harus beberapa kali berhenti untuk mengantur nafas dan minum. Dengkul pun cukup gemetar karena harus menahan beban badan dan carrier yang dibawa. 

Shorcut menuju Hutan Mati
Sampai di atas rasanya puas sekali, selamat datang kembali di Hutan Mati, Nanda!

I'm Back!
Hutan Mati masih sama seperti sebelumnya, tetap eksotis.

Kawah utama di kejauhan dari Hutan Mati
Dari Hutan Mati kami turun ke Pondok Saladah untuk beristirahat, sholat dan mengisi perut. Karena perjalanan kami belum berhenti sampai sini.


Foto :
Dokumentasi Pribadi

Kawah Ratu Gunung Salak : Eksotisme di Ketinggian 1437 mdpl

Gunung Salak.

Salah satu gunung yang menjadi kebanggaan warga Bogor dengan kegagahan dan eksotismenya. Gunung yang selalu terlihat dari segala penjuru Kota Bogor, bahkan jika cuaca sangat cerah bisa terlihat dari lokasi saya bekerja, Jakarta Utara. Tidak percaya? Maka percayalah! Hahahaha. Di bagian lereng kanan nya selalu terlihat asap yang mengebul tebal, asap ini berasal dari kawahnya yang masih sangat aktif. Saya selalu penasaran dengan asap ini dan alhamdulillah kali ini saya berkesempatan untuk melihatnya langsung dari dekat. Kawah Ratu, eksotisme di ketinggian 1437 mdpl.

Kawah Ratu
Kami berangkat di Sabtu malam di bulan April yang diguyur hujan lebat, seluruh jas hujan dan bag cover pun kami keluarkan untuk melindungi badan dan gembolan kami dari derasnya hujan Kota Bogor, maklum saja kami pergi menggunakan motor. Kami berencana untuk camping semalam dan berangkat trekking keesokan pagi. Hujan yang sangat lebat cukup membuat kami beberapa kali berhenti berteduh sehingga kami baru mulai mendirikan tenda pukul 11 malam saat hujan mereda hahahaha larut sekali ya. Kebetulan sekalian memberikan surprise pukul 00.00 kepada sahabat yang sedang berulang tahun. 

Kami mendirikan tenda di kawasan Curug Cihurang di kawasan Gunung Bunder, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Hujan yang mengguyur terus menerus membuat malam itu tidak terlalu dingin, hanya saja lokasi camping kami ternyata merupakan jalur air jadi para pria di tengah malam gelap bergegas membuat selokan di samping tenda untuk mengalihkan aliran. Suara gemuruh Curug Cihurang menemani tidur kami malam itu.

Tenda kembar kami
Pagi mulai datang, saya keluar tenda untuk melihat-lihat sekitar karena penasaran seperti apa Curug Cihurang yang kami datangi di kegelapan malam. Ternyata di kawasan ini memang sering dijadikan lokasi kemah, terlihat ada beberapa tenda yang didirikan selain milik kami, MCK nya pun tersedia dengan air yang melimpah. Curug Cihurang terletak dekat di belakang tenda kami dan pagi itu tampak ada beberapa orang sudah bermain air, wow, mereka tampak berteriak-tertawa antara kegirangan dan kedinginan, lucu.

Tenda lainnya

Menikmati Curug Cihurang
Kembali ke tenda setelah sarapan dan beres-beres, kami bersiap untuk trekking ke Kawah Ratu. Kami memulai pendakian pukul 09.00 melalui jalur Pasir Reungit dekat dengan Curug Ngumpet. Setelah menitipkan tas dan logistik di warung dekat jalur pendakian, beberapa teman mengurungkan niat untuk trekking setelah tahu perjalanan harus ditempuh selama 3 jam. Pagi itu cuaca sedikit mendung dan berkabut cukup tebal, kami menyiapkan makanan, minuman karena di atas sudah tidak ada lagi penjual makanan dan tentu saja jas hujan. Setelah melapor dan membayar uang retribusi, kami pun mulai menanjak. Bismillahirrahmanirrahim.

Trek Sebelum Pos Lapor
Jalur yang dilalui sepanjang perjalanan merupakan jalur basah dengan hutan hujan lembab di sisi kanan kiri. Saran saya ada baiknya menggunakan sendal gunung, jika menggunakan sepatu sepertinya menjadi kurang nyaman karena bisa dipastikan basah. Membawa lotion anti nyamuk juga ada baiknya karena hutan di trek awal nyamuknya lumayan ganas, sisanya lebih ke atas sih tidak ada nyamuk lagi. Lintah atau pacet sepertinya ada karena daerahnya sangat lembab, tapi alhamdulillah saya tidak lihat ada yang menempel di kaki saya hehehe.
Trek tanah yang cukup licin
Selama perjalanan kita akan menemukan aliran air jernih di sisi trek, boleh sesekali untuk bermain air atau sekedar mengambil minum. Jalur yang dilalui beragam dari mulai tangga batu, tanah liat yang licin, sungai dan jalur air yang ketinggiannya hingga betis orang dewasa. Sejauh perjalanan karena trek yang dilalui adalah hutan hujan yang cukup lebat, jadi sangat adem dan tidak gerah jadi cukup nyaman untuk menikmati udara sejuk pegunungan. Trek juga tidak terlalu terjal dan menanjak, lebih banyak yang landai hanya saja memang jalur yang dilalui lumayan jauh. 

Suasana hutan hujan tropis nan lembab
Kami menghabiskan waktu sekitar 4 jam karena memang berjalan dengan ritme santai dan sering berhenti untuk beristirahat. Jika sudah menemukan sungai besar yang jernih maka sudah semakin dekat dengan Kawah Mati. Jika ingin mengambil air, silakan mengambil air di sungai ini karena setelah ini seluruh aliran air yang ditemui sudah tercampur dengan belerang.

Halimun (kabut) yang sesekali datang
Bau belerang pun mulai tercium menyeruak dan menandakan kami telah sampai di Kawah Mati. Kawah Mati merupakan tanah lapang berbatu yang disisi kirinya dialiri sungai dengan kandungan belerang, bebatuan di Kawah Mati tampak menghitam dengan lumpur belerang di sana sini. Pohon-pohon yang mati terawetkan tampak ada yang masih berdiri tegak dan ada pula yang tumbang. Suasana terlihat mencekam, berantakan layaknya hutan yang habis terbakar atau terkena bencana. Epic.

Selamat datang di Kawah Mati
Sungai belerang di Kawah Mati
Kawah Mati dari atas bukit
Dari Kawah Mati kami harus mendaki sebuah bukit dengan semak-semak berbunga untuk menemukan Kawah Mati kedua yaitu Kawah Mati Danau Situ Hiang. Ketika menuruni bukit, di sisi kanan kita akan menemukan sebuah danau tersembunyi dengan air kecokelatan, hanya saja tidak ada jalur untuk menuju danau tersebut. Kawah Mati Danau Situ Hiang lebih luas dibandingkan dengan Kawah Mati yang pertama, terbagi menjadi 2 kawasan dan cenderung lebih basah karena di beberapa lokasi terdapat genangan air belerang. Sampai sini kami beristirahat dan membuka perbekalan. Beberapa teman tampak menyerah untuk melanjutkan perjalanan hingga ke Kawah Ratu.

Kawah Mati Danau Situ Hiang yang lebih basah
Selamat Datang
Kolam Belerang
Sudah kepalang tanggung sampai sini, saya dan 2 orang teman melanjutkan perjalanan. Sebetulnya sudah tidak terlalu jauh, hanya perlu melintasi satu hutan lagi atau sekitar 15 menit maka akan menemukan Kawah Ratu yang dituju. Sampailah kami di depan Kawah Ratu, saya kira kawahnya tidak sebesar ini, ternyata sangat besar dengan asap yang mengepul tebal. Ah ini dia sumber asap yang selalu terlihat dari kejauhan, kini saya bisa melihatnya langsung di hadapan, alhamdulillah.

Hutan menuju Kawah Ratu

Eksotisme di ketinggian 1437 mdpl
Sayang kami tidak sempat mendekat karena cuaca tiba-tiba mendung, kami bergegas menghampiri teman-teman lainnya dan pas sekali, hujan turun sangat lebat. Butiran airnya sangat besar dan kencang, semoga tidak menjadi badai. Setelah jas hujan membalut badan kami, bergegaslah kami untuk pulang. Jadi bisa dibilang saya trekking tek-tok karena tidak banyak waktu yang dihabiskan di atas hehehe. Trekking di tengah guyuran hujan lebat ternyata sangat sulit, selain pandangan yang tampak berkabut, trek yang dilalui pun jadi lebih licin dan tergenang air lebih tinggi jadi harus lebih hati-hati. Sungai-sungai yang harus dilewati pun banjir, seperti mendapat air bah dari atas, berwarna cokelat dengan arus yang sangat deras. Kami harus saling berpegangan tangan ketika menyeberangi sungai agar tidak terjatuh dan terbawa arus. Trek yang kami lalui sepanjang perjalanan pun berubah menjadi sungai 100% hahaha. Tentu saja lebih sulit karena bebatuan menjadi tidak terlihat, dan arusnya deras, harus lebih hati-hati agar tidak salah berpijak dan menghindari terkilir. Wah, perjalanan pulang menjadi lebih sulit nih karena hujan.

Rasa lelah pun mulai mengegerayangi tubuh karena trekking tek-tok, hujan dan dengan jalur yang lebih sulit sejujurnya membuat saya sedikit menyerah. "Ingin cepat pulang" selalu membayangi pikiran dan semakin saya berpikir seperti itu rasanya semakin lama saya sampai. Mungkin sugesti atau mungkin karena sudah cukup lelah. Saat melihat atap-atap rumah dari ketinggian, rasanya luar biasa senang sekali, tandanya sudah semakin mendekat. Pukul 4.30 akhirnya kami sampai di warung, harum mie rebus pun tercium sangat semerbak. Sungguh perjalanan yang luar biasa. Walau sedikit menyerah tapi saya tidak kapok dan ingin kembali lagi hehehe. Mie rebus dan hujan lebat menemani kami yang kepayahan sore itu.

Foto :
Dokumentasi Pribadi