Jumat, 28 Februari 2014

Nanda Goes to Bromo (Part 2) - Explore Bromo dan Sekitarnya

Melanjutkan perjalanan saya di Madakaripura di postingan sebelumnyaSetelah beristirahat singkat di Wisma Diponegoro, kami siap-siap untuk mengejar sunrise Bromo di Pananjakan 1. Kami meluncur sekitar pukul 1 dini hari, di perjalanan pun kami manfaatkan dengan tidur. Perjalanan sekitar 1 jam kami pun berganti kendaraan dengan menggunakan jeep yang akan membawa kami menuju Pananjakan 1. Sebelum meluncur saya sempat membeli sarung tangan dan kupluk karena tampaknya jaket dan sweater saja tidak cukup untuk menghangatkan badan.

Jalanan menuju Pananjakan 1 sangat gelap, saya tidak terlalu bisa melihat jelas kondisi di luar karena kabut pun turun sangat tebal, yang saya rasakan adalah jalannya berbelok-belok dan dari kejauhan terkadang terlihat citylights. Sorot lampu jeep pun terlihat sangat banyak dari kejauhan, sepertinya kali ini Pananjakan 1 akan ramai dan penuh, maklum saja long weekend. Sampailah kami di Pananjakan 1, jeep pun diparkirkan, begitu pintu dibuka udara dingin menusuk badan, saat itu sekitar pukul setengah 4 pagi. Dari parkiran kami harus berjalan kaki menyusuri jalanan aspal menanjak, di sisi sebelah kiri banyak sekali warung-warung yang menjajakan sesuatu yang berhubungan dengan Bromo, mulai dari kupluk, kaos, sarung tangan, kaos kaki, bahkan mie rebus dan minuman untuk menghangatkan badan.

Di ujung jalanan aspal, kami harus menaiki tangga yang lumayan curam dan tinggi. Di ujung tangga inilah yang merupakan spot untuk melihat sunriseTernyata sudah banyak sekali orang yang siap sedia sejak dini hari. 

Udara dingin, kabut dan rintik hujan terus membasahi kami yang sangat setia menanti datangnya mentari pagi. Saya pun sempet ketiduran di bangku saking dinginnya yang menusuk, walaupun terkadang sedikit basah karena hujan rintik dan kabut yang lewat. Setelah menanti cukup lama, hari mulai terang namun sang mentari pagi tak kunjung terlihat. Kami rupanya tidak beruntung pagi itu, musim hujan memang bukan waktu yang tepat untuk menikmati sunrise di Bromo. Konon, sunrise disini cantiknya luar biasa. Mungkin lain waktu saya bisa mampir lagi kesini, hehehe.


Konon sunrise nya secantik ini
Setelah puas menikmati udara dingin di Pananjakan 1, kami pun berbondong-bondong turun ke parkiran jeep dan mampir ke salah satu warung untuk menghangatkan badan. Di warung tersebut ada kompor tungku yang disediakan untuk pengunjung menghangatkan diri. Saya pun tidak ragu untuk duduk mendekat dan memesan kopi hangat.

Dingin banget!!
Perjalanan dilanjutkan menuju kawasan Bromo - Pasir Berbisik - Bukit Teletubbies - Kawah Bromo. Sebelum sampai tujuan, kami mampir di suatu kawasan padang pasir hitam luas, puluhan atau entah ratusan jeep diparkir di tempat tersebut. Banyak terlihat pula lapak lapak pedagang yang berjualan macam-macam. Saya dan teman pun sempat mampir ke toilet, maklumlah udara yang dingin memang membuat bolak balik ke toilet. Ternyata karena toiletnya sangat terbatas, sedangkan pengunjung yang datang sangat membludak, maka kami pun menghabiskan waktu antri hingga 1 jam.

Ramainya pengunjung di peak season
Setelah memohon maaf ke rekan satu jeep yang sudah rela menunggu lama, jeep pun melaju. Tujuan pertama adalah Bukit Teletubbies, kami melewati hamparan padang pasir yang sangat luas. Hujan deras membuat beberapa genangan air di beberapa tempat, jika tidak hati-hati jeep bisa terperosok dan terjebak dalam kubangan lumpur. Di jalan yang kami lalui pun terlihat 2 jeep yang dibiarkan dan ditinggalkan pemiliknya karena terperosok lumpur. Sambil menikmati pemandangan yang terhampar, tidak berapa lama kami pun sampai di kawasan Bukit Teletubbies.

Hijaunya Bukit Teletubbies di musim penghujan
Bukit Teletubbies merupakan hamparan bukit savana hijau yang sangat indah, dinamakan teletubbies karena memang mirip bukit rumput yang ada di acara televisi teletubbies. Kata driver jeep, kami beruntung bisa datang ke bukit ini saat musim hujan, karena rerumputannya sedang subur-suburnya, terlihat hijau dan cantik. Lain halnya dengan musim kemarau yang kering dan kuning. Masih diselimuti kabut nan tebal serta rintik hujan, saya pun berjalan ke arah bukit dan menikmati pemandangan indah yang terbentang di hadapan. Jika berani naik kuda, boleh juga dicoba menunggangi kuda hingga ujung bukit.


Surga!!
Puas menikmati savana bukit teletubbies, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasir Berbisik. Mirip dengan judul film, memang lokasi ini semakin terkenal dan diberi nama Pasir Berbisik karena merupakan lokasi syuting film dengan nama tersebut. Pasir berbisik merupakan suatu hamparan padang pasir vulkanik yang amat sangat luas, yang juga dikelilingi oleh jajaran perbukitan.


Pasir Berbisik
Kami pun melanjutkan perjalanan ke kawasan kawah bromo yang tentunya merupakan tujuan utama. Sampai di pelataran jeep pun diparkirkan, kami diharuskan berjalan kaki hingga ke puncak kawah bromo, ternyata cukup jauh dan tinggi. Saya pun mencoba untuk mengendarai kuda sampai atas dan membayar Rp. 50.000 sekali jalan. Ini pun merupakan pengalaman pertama saya naik kuda, ternyata cukup menyeramkan, hehehe. Saya pun dengan mantap menunggangi kuda jantan berwarna cokelat yang dinamai Brownies oleh sang empunya hingga titik pendakian kawah.


Ternyata naik kuda cukup menyeramkan


View sepanjang perjalanan
Kemudian perjalanan ke kawah dilanjutkan dengan naik tangga berwarna kuning yang ternyata cukup padat oleh pengunjung, boleh santai saja, jika lelah beristirahatlah. Di beberapa anak tangga ada spot semacam teras yang cukup untuk isi stamina melanjutkan naik tangga. Semakin tinggi pemandangan semakin luar biasa, terlihat di ketinggian hamparan pasir vulkanik bromo yang diselimuti kabut putih. Dari kejauhan juga nampak pura besar di pelataran Bromo. Pura ini lah yang pertama kali kami termui ketika jeep mendaratkan kaki di pakiran. Pura ini bernama Pura Luhur Poten yang merupakan pusat ibadah Suku Tengger Bromo yang mayoritas beragama Hindu.


Pura Luhur Poten dari ketinggian dan tertutup kabut
Akhirnya setelah cukup menguras stamina dengan oksigen yang semakin tipis, sampailah saya di puncak kawah Bromo. Karena kabut yang sangat tebal serta asap belerang yang tebal, pemandangan jadi tidak terlalu terlihat. Bau menyengat belerang menyeruak menusuk hidung, siapkan handuk atau masker untuk tutup hidung. Saya tidak berlama di kawah karena tidak cukup kuat untuk menghirup aroma belerang yang menusuk hidung.



Memandang kawah berkabut dari kejauhan
Di sisi kiri kawah bromo terlihat bukit berkontur unik, biasanya orang menyebutnya dengan sebutan Gunung Batok. Di akhir trip Bromo ini kami pun berfoto bersama rekan satu trip. Sungguh perjalanan yang sangat menyenangkan, akhirnya saya menjejakkan kaki di kawasan Bromo. Lain kali harus datang lagi di musim kemarau, yang pastinya punya sensasi yang berbeda, dengan udara yang pastinya lebih dingin dan tentunya sunrise yang cantik. Jakarta sudah memanggil , kami harus kembali, see you again Bromo :)


See you again!!

Nanda Goes to Bromo (Part 1) - Explore Madakaripura Waterfall

Bromo merupakan salah satu bucket list  dan pada awal tahun 2014 saya pun berkesempatan untuk menikmati keindahannya. Walaupun awal tahun sudah memasuki musim penghujan dan keberangkatan saya bertepatan dengan hari raya Imlek, saya tetap berangkat karena sudah tidak sabar mewujudkan salah satu keinginan saya. Apa mau dikata manusia tidak bisa mengatur cuaca, seperti kata James Morisson di lagunya “we can pray for sunny weather but that won’t stop the rain”.

Kemegahan Bromo
Jumat pagi saya meluncur dari Bogor menuju meeting point di Stasiun Pasar Senen, kebetulan saya join open trip lagi, kali ini milik salah satu teman saya sebagai trip planner nya. Ini adalah kali pertama saya naik kereta jarak jauh, tak heran saya sangat penasaran dan antusias, hehehe. Kereta yang saya tumpangi menuju Malang adalah kereta ekonomi ac Matarmaja seharga Rp. 130.000. Kondisi Stasiun Senen kali itu sangat padat, maklum saja tanggal merah dan long weekend, banyak yang akan berlibur terlihat juga banyak sekali rombongan dengan bawaan carrier yang besar, sepertinya akan naik gunung.

Pukul 2 siang pun kereta meluncur, perjalanan Senen-Malang akan ditempuh selama 18-20 jam, hahaha lama sekali yah. Kereta Mataraja ini tidak jelek, tapi juga tidak bagus. Bangkunya di lajut kiri dan kanan saling berhadapan. Lajur kiri muat 3-3 dan lajur kanan 2-2 dengan colokan listrik di setiap sisi dekat jendeka, ya sepertinya colokan listrik sudah menjadi kebutuhan primer saat ini, hehehehe. Bangku berhadapan sebetulnya agak sempit jadi tidak bisa selonjoran, otomatis selama perjalanan kaki akan ditekuk. Tidak ada salahnya minta bergantian dengan orang di depan kita jika tidak sungkan, atau sering-sering berjalan berkeliling gerbong agar tidak keram. Bangkunya pun tegak tidak bisa diturunkan, jadi ada baiknya membawa bantal leher untuk menopang kepala. Oiya disini juga ada penyewaan bantal sebesar Rp. 5000 per bantal sampai Malang, bantalnya bersih dan wangi lumayan untuk sekedar bersandar atau dipeluk. Hal pertama yang selalu saya khawatirkan ketika traveling adalah toilet, terutama toilet kereta Matarmaja ini. Sayangnya, kekhawatiran saya benar adanya, toiletnya jorok dengan debit air flush yang kecil, pantas saja bau bahkan sempat beberapa saat airnya mati.

Suasana dalam kereta Matarmaja
Kebetulan saya duduk di samping jendela, maklum saja masih antusias dengan perjalanan panjang naik kereta, hehehe. Mulai masuk Karawang, mata akan dimanjakan oleh pemandangan sawah hijau yang terbentang luas, begitu pun seterusnya sawah dan rumah penduduk. Kereta pun mulai memasuki Jawa Tengah dan terdengar suara penjual kopi, teh, dan jajanan lainnya. Ternyata walaupun diberitahukan sudah tidak boleh ada lagi pedagang berjualan di kereta ini, tetapi mulai memasuki Jawa mereka tetap masuk dan berjualan. Tapi menurut saya dengan adanya mereka cukup membantu penumpang agar tidak bosan, bisa membeli ini itu. Saya dan beberapa teman pun mencari penjual pecel yang tak kunjung datang, tak lama kemudian terdengar sayup-sayup suaranya. Malam itu kami makan nasi pecel hangat seharga Rp. 8.000 saja plus minuman jahe hangat tanpa harus ke gerbong restorasi hehehe, pedagangnya menjemput bola.

Nasi pecel hangat yang nikmat
Hari pun menjelang pagi dan kereta mulai memasuki Jawa Timur, matahari terbit mulai terlihat keemasan dari ujung jendela. Saya pun ke toilet dan berjalan-jalan di dalam gerbong kemudian berhenti di salah satu pintu kereta yang terbuka, entah siapa yang membuka. Saya pun bersandar sambil memandang pemandangan persawahan nan hijau di depan mata. Tak lama terdengan suara teguran dari petugas kereta, pintu pun ditutup karena berbahaya. Siap pak bos. Beberapa kali kereta melewati jembatan yang tinggi dan terowongan panjang nan gelap. Matarmaja pun merapat di Stasiun Malang sekitar pukul 9 pagi. Hey, selamat datang di Malang.

Selesai sarapan dan beristirahat di warung soto yang murah meriah, kami melanjutkan perjalanan ke Probolinggo menuju air terjun Madakaripura menggunakan elf. Ternyata perjalanannya sangat jauh, sekitar 4 jam saya manfaatkan dengan tidur. Hari sudah mulai siang dan awan mendung sudah mulai bergelayutan. Akhirnya kami sampai di pintu masuk air terjun Madakaripura dengan disambut oleh patung Patih Gajah Mada.

Patih Gajah Mada menyambut di pintu utama
Air terjun Madakaripura ini terletak di Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo dan masih masuk di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Setelah istirahat sejenak dan memastikan bahwa air terjun ini aman untuk dikunjungi kami pun meluncur. Maklum saja jika hujan deras debit air dari atas akan tinggi sehingga membahayakan karena riskan muncul air bah. Safety first itu penting dalam traveling, jika memang tidak memungkinkan dilakukan tidak boleh dipaksakan. Alhamdulillah kali ini masih aman dan kami diperbolehkan naik.

Lereng vertikal di sepanjang perjalanan
Perjalanan dari titik awal sampai air terjun sekitar 45 menit jalan santai, trek yang dilalui sudah rapi dan dibeton, hanya beberapa kali memang harus melewati aliran sungai. Sepanjang jalan kita akan disuguhkan oleh pemandangan lereng cadas vertikal yang menjulang tinggi, seakan kita sedang berada di dalam sebuah lembah atau ceruk yang dalam. Suara air mengalir dan burung pun membuat syahdu suasana. Di sepanjang trek juga akan ditemui warung-warung tenda sederhana yang menjajakan gorengan, teh manis, kopi dan lainnya, lumayan untuk mengganjal perut atau sekedar menghangatkan badan. Saya sempat mencicipi tempe mendoan hangat yang dicocol sambal petis, ternyata enak hehehe. Suara air terjun pun sudah terdengar dan mulai terlihat dari kejauhan. Tampak beberapa orang sedang menjajakan jas hujan sekali pakai, ada yang dijual seharga Rp. 10.000 dan disewakan seharga Rp. 5000. Ternyata jika main ke Madakaripura kita dipastikan akan basah kuyup, bagi yang tidak ingin basah silakan dapat menggunakan jas hujan. Tapi kali itu saya berani bermain basah karena sudah jauh-jauh datang.

Air terjun yang harus dilalui, saya siap basah hehe
Sebelum sampai di air terjun utama kita harus melewati 3 buah air terjun yang mengucur deras karena jalan satu-satunya memang harus melewati itu. Airnya deras dan dingin, mengucur diantara hijaunya tumbuhan paku. Begitu cantik dan jujur sangat menyenangkan ketika harus basah melewatinya. Tak jauh sampailah di air terjun utama, air terjun Madakaripura konon merupakan tempat meditasi terakhir Patih Gajah Mada, menurut pemandu lokal di dekat air terjun dahulu terdapat goa tempat sang patih biasa bermeditasi, namun karena perubahan alam goa tersebut sudah tidak terlihat. Air terjun ini dikelilingi oleh lereng vertikal yang sangat tinggi. Tinggi air terjun berkisar 200 meter jatuh dengan debit air yang sangat deras membentuk kolam kehijauan yang lumayan besar dan pastinya dalam. Dinding-dinding berlumur hijau nampak semakin membuat cantik. Berdiri di depan air terjun sambil menikmati cipratan airnya yang pastinya membuat basah, seakan berada di dalam sebuah tabung yang dalam. Subhanallah.


Tingginya Air Terjun Madakaripura
Hari semakin sore kami pun kembali ke parkiran, beberapa orang pun berganti baju kering agar tidak masuk angin. Kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah restoran untuk makan malam, kali ini makan malam kami cukup mewah sebagai permintaan maaf dari trip planner karena makan siang kami yang terlewatkan akibat mengejar waktu untuk Madakaripura. Setelah makan kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan untuk beristirahat dan persiapan petualangan ke Bromo dini hari nanti. Kali ini penginapan yang kami dapatkan sangat bagus untuk ukuran trip semi-backpacking, murah tapi seluruh faslilitas yang kami dapatkan sangat memuaskan, dari mulai efl, makan hingga penginapan hehehe.

Penginapan kami namanya Wisma Diponegoro, memang tidak terlalu dekat dengan Bromo tetapi masih lumayan karena harganya murah dan Bromo pun masih terjangkau jaraknya. Penginapannya bertingkat 2, kamarnya bagus dan nyaman, kasur double, ukurannya cukup besar. Ada lemari, ac, tv, air minum, toiletries, kamar mandi dalem dengan shower air hangat.
Penginapan kami yang tergolong "mewah"
To be continued to part 2