Menjalani kehidupan dalam kesederhanaan, jauh dari hiruk pikuk kota besar, melepaskan penat, menyatu dengan alam, tanpa gadget, sinyal dan listrik. Pengalaman inilah yang saya dapatkan ketika berkunjung ke Kanekes. Ya, dua hari hidup bersama Urang Kanekes atau biasanya lebih terkenal dengan Suku Baduy, suku mandiri yang bermukim di kawasan Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sungguh pengalaman yang sepertinya memang harus dirasakan oleh orang-orang masa kini yang selalu tertunduk menatap layar handphone, tanpa senyum tanpa sapa, sibuk masing-masing dengan dunianya yang penuh kepenatan, tergerus waktu.
 |
Bersama Urang Kanekes |
Perjalanan kami mulai dari Stasiun Tanah Abang dilanjut kereta hingga Rangkasbitung dan angkutan elf hingga terminal terakhir di Desa Ciboleger. Di perhentian terakhir inilah kami dijemput oleh seorang bapak muda, sebut saja Kang Santa bersama ayahnya (maaf saya lupa namanya) dan si kecil Salia yang katanya merengek dan merajuk ingin ikut menjemput kami. Mereka lah sang host, yaitu Suku Baduy Dalam yang akan menjadi guide kami selama berada di sana. Mereka fasih berbahasa Indonesia, tapi jika bisa berbahasa Sunda, ajaklah mereka berbincang menggunakan Bahasa Sunda, rasanya akan lebih akrab, hehehe.
 |
Selamat datang di Ciboleger |
Hujan pun turun, setelah mengisi perut di salah satu warung, kami dengan serta merta memakai jas hujan. Perjalanan yang katanya kurang lebih 5 jam naik turun gunung harus kami lalui untuk sampai di Kampung Cibeo, rumah yang akan dijadikan tempat menginap kami selama 1 malam. Hujan yang turun dengan deras membuat trek yang kami lalui sangat licin, terlebih ini adalah minggu kedua Suku Baduy mempersilahkan tamu untuk berkunjung setelah selama 3 bulan ditutup untuk umum karena sedang ada perayaan, istilahnya sedang ada hari raya lebaran untuk mereka. Pastinya jalan yang dilalui akan muncul lumut-lumut. Mereka menawarkan diri untuk membawa barang bawaan kami, saya tidak menolak hehehe, anggap saja untuk meringankan beban dan berbagi rejeki, mereka juga tidak mematok harga, jadi berikan saja sepantasnya, dilebihkan tentunya lebih baik.
 |
Kang Santa membawakan barang kami |
Sebetulnya untuk mencapai Kampung Cibeo banyak sekali jalur yang bisa dilalui, beruntung karena kami hanya sedikit, sang tuan rumah menuntun kami melalui jalur yang jarang sekali dilalui oleh tamu, yaitu jalur Danau Gangga Ageng. Sebelum memulai perjalanan kita akan melalui kampung Suku Baduy Luar, disini kita bisa membeli pernak-pernik buatan mereka. Suku Baduy luar sudah mengenal teknologi dan menggunakan pakaian adat warna hitam atau biru tua, terkadang mereka juga menggunakan pakaian modern biasa seperti kaos oblong.
 |
Kerajinan tangan warga Baduy Luar |
Sepanjang perjalanan, si kecil Salia menuntun dengan berjalan di depan, ia berjalan dengan mantap kadang berlari-lari kecil. Tubuhnya masih sangat imut namun kaki nya sangat kuat, tidak pernah mengeluh lelah, ah mereka pasti sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh sejak usia dini.
 |
Si kecil Salia yang tangguh |
Trek yang dilalui memang luar biasa, Pegunungan Kendeng yang naik turun begitu terjal dan tentunya licin. Terjatuh terpeleset menjadi hal yang biasa untuk kami, saling menertawakan dan membantu, alhamdulillah walaupun belum lama mengenal mereka (bahkan 1 orang baru kenal) tapi saya bertemu dengan partners yang amat sangat menyenangkan, mereka tidak pernah mengeluh bahkan sedikit pun dan tentunya mau berada dalam kondisi sulit dan saling support. Kami sempat mampir ke Danau Gangga Ageng, sebuah danau cantik di balik Pegunungan Kendeng, dengan airnya yang berwarna kehijauan dan dikelilingi oleh pohon-pohon aren. Katanya jarang sekali tamu yang bisa mampir kesini, alhamdulillah kami berkesempatan.
 |
Danau Gangga Ageng |
Hujan terus mengguyur sepanjang perjalanan, jika hujan berhenti dan berada di ketinggian maka akan nampak deretan bukit-bukit yang terselimut kabut, ah cantiknya. Di sepanjang perjalanan, kita akan menemui banyak sekali aliran air yang sangat jernih, sesekali bolehlah berhenti untuk sekedar bermain air. Hal yang unik yang ditemui di perjalanan adalah ketika bertemu binatang macam cacing dan kaki seribu. Ukurannya sungguh luar biasa, super besaaaaaar, hahaha. Saya seringkali berteriak dan bergidik ngeri ketika melihatnya. Semacam memang ditunjukkan bahwa alam Kanekes masih sangat alami dan sangat subur. Saya juga sempat melihat cacing besar dan panjang berwarna kebiruan, nama cacing ini Metaphire Longa atau Cacing Sonari. Penasaran seperti apa? Silakan googling, karena saya tidak berani untuk mengambil gambar, super geli, hiiiiiii.
 |
Pegunungan Kendeng yang berselimut kabut |
Perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam berupa tanda yang terbuat dari janur. Kang Santa memberi tahu ketika sudah di perbatasan dan menjelaskan bahwa setelah memasuki kawasan Baduy Dalam kami dilarang memotret. Kami pun patuh, mematikan handphone dan kamera lalu kami masukkan ke dalam tas masing-masing.
Tak terasa perjalanan yang seharusnya kami lalui selama 5 jam bisa kami tempuh lebih cepat yaitu 3 jam saja, alhamdulillah bisa sampai dan beristirahat lebih cepat. Kami akan tinggal di rumah Kang Santa, di rumahnya sudah ada istri dan anak perempuannya yang bungsu. Kami beruntung, rumah Kang Santa berada di samping sungai yang bisa digunakan untuk bersih-bersih dan buang air. Kampung Cibeo ini dikelilingi oleh sungai yang airnya mengalir deras, ada bagian sungai yang digunakan untuk minum, untuk mandi dan untuk buang air, tentunya dipisahkan. Rumah Urang Kanekes adalah tipe rumah panggung yang terbuat dari bilik kayu, di dalam rumah ada tungku dari tanah liat.
Sore itu saya memilih untuk tidak mandi karena lumayan dingin seharian terguyur hujan, salah satu rekan kami yang pria dengan semangat 45 membuka baju dan terjun ke air, katanya kapan lagi bisa mandi di sungai dengan bebas, hehehe. Sebetulnya sungainya sangat jernih, hanya karena habis hujan jadi agak keruh. Di sini kita tidak boleh menyalakan alat elektronik, kecuali senter untuk membantu penerangan, tidak boleh mengotori air dan tanah dengan zat kimia, jadi kalau mau sikat gigi atau mandi tidak boleh pakai sabun ya.
Istri Kang Santa langsung menyiapkan hidangan untuk kami makan malam, hari masih terlalu sore tetapi badan sudah cukup lelah, baju pun basah kuyup bercampur antara keringat dan hujan, jadi saran saya bawalah baju ganti agak banyak. Sore itu saya habiskan dengan bersih-bersih dan mengobrol dengan rekan seperjalanan, tentunya meluruskan kaki dan badan yang sudah bekerja keras berjalan sangat jauh. Sambil menunggu makan malam, kami juga sibuk memilih barang dagangan buatan Urang Kanekes, dari mulai gelang, gantungn kunci, gelas bambu, dan kain tenun. Saran saya, bawalah uang cash agak banyak karena saya cukup menyesal tidak bisa banyak membeli karya tangan mereka. Uang yang cukup terbatas membuat saya hanya bisa menjatuhkan pilihan pada sepotong syal tenun berwarna pink-biru dan 2 botol madu.
Sistem barter memang sudah tidak ada di antara Urang Kanekes, jadi mereka sudah mengenal mata uang. Penjualan barang-barang ini juga sebagai tambahan pendapatan untuk mereka. Walaupun sudah mengenal mata uang, tetapi mereka tidak melakukan tawar menawar dalam kegiatan jual beli. Ah lagian untuk apa kita menawar harga, harga yang mereka berikan jauh-jauh dari kata pantas sebetulnya. Sangat murah untuk sebuah karya. Terutama kain tenun yang dihargai sangat murah untuk ukuran kain yang ditenun secara tradisional, perlu berhari-hari bahkan berbulan pastinya untuk menyelesaikan. JIka berkesempatan ke Baduy, belilah barang-barang jualan mereka. Bagus-bagus dan cantik.
Hari mulai malam, namun di luar tampak terang benderang, ah bulan purnama tampaknya. Namun udara yang sangat dingin membuat kami masuk ke dalam rumah untuk menghangatkan badan, kali itu Cibeo cukup banyak kedatangan tamu, bahkan hingga hari gelap masih banyak rombongan yang baru tiba. Makan malam sudah siap, kami pun duduk melingkar makan malam sambil berbincang-bincang. Rapat. Hangat. Suasana yang amat sangat menyenangkan yang jarang ditemui saat ini. Tanpa kepala yang tertunduk ke arah handphone untuk sekedar melihat sosial media. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Bahkan ketika makan malam sudah habis, kami masih melanjutkan perbincangan hingga larut malam. Kami warga kota dan tuan rumah sang Urang Kanekes, duduk berdampingan, saling bercerita. Tapi memang harus kita yang lebih aktif bertanya karena mereka cenderung pemalu, hehehe.
Malam itu saya belajar banyak hal.
Mengenai adat istiadat dan kehidupan Urang Kanekes :
- Prinsip mereka sangat teguh, mereka sama sekali tidak berkeinginan dan memiliki hasrat kebendaaan dan keduniawian. Sungguh luar biasa mereka bisa dengan nikmatnya hidup dalam kesederhanaan dan menyatu dengan alam. Damai dan tentram, tidak memiliki ambisi terhadap sesuatu yang amat sangat jarang ditemui saat ini. Tidak pernah ada perkelahian, pertengkaran, apalagi tindakan kriminal. Hidup rukun, damai, tenteram.
- Pernikahan mereka adalah melalui perjodohan, jadi setiap orang yang dijodohkan harus menerima pasangannya sebagai pasangan hidup, sehidup semati karena mereka tidak mengenal perceraian.
- Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam saling berbagi dan hidup rukun, apa yang ditanam di ladang Baduy Luar tidak boleh ditanam oleh Baduy Dalam, begitu pun hasil kerajinan tangan, untuk saling melengkapi katanya.
- Setiap mereka bukannya takut untuk melanggar hukum adat, tetapi karena memang sudah tidak ada keinginan untuk melakukannya, misalnya : naik angkutan umum. Tidak pernah tergoda sedikit pun untuk mencicipi, bukan karena takut, hanya karena tidak mau.
- Mereka tidak mengenal kompleks pemakaman, bila ada yang meninggal dikuburkan dan makamnya tidak diberi gundukan atau tanda, jadi bisa digunakan kembali untuk ladang.
- Mereka dipimpin oleh ketua adat disebut Pu'un yang tidak bisa ditemui oleh sembarang orang. Rumahnya agak terpisah jauh dan eksklusif dengan palang kayu yang menyilang, pertanda tidak sembarang orang boleh menemui dan berkunjung.
- Jika mereka mencintai orang di luar Baduy Dalam dan ingin menikahi, maka diwajibkan untuk keluar dari Baduy Dalam dan sudah tidak lagi menjadi warga Baduy Dalam.
- Proses pembangunan rumah tidak menggunakan alat bantu seperti paku dan gergaji, dibuat secara bergotong royong.
- Perjalanan mereka ke Jakarta menempuh waktu selama 3 hari dengan berjalan kaki, biasanya mereka membawa barang dagangan untuk dijual kepada teman-teman yang sebelumnya pernah bertamu ke Kanekes, jadi tidak dijual sembarangan di pinggir jalan, hehe jadi bisa bedakan ya mana Urang Kanekes yang asli mana yang palsu?
dan masih banyak sekali hal yang kami bisa pelajari dari adat istiadat dan keseharian mereka yang sungguh luar biasa.
Kami pun banyak bercerita tentang pekerjaan dan keseharian kami, ada rekan yang bekerja sebagai aktivis anak-anak berkebutuhan khusus, ia banyak bercerita mengenai bagaimana realita yang harus dihadapi para orang tua yang dianugerahkan anak yang spesial. Ada juga rekan yang berprofesi sebagai notaris, ia banyak bercerita mengenai realita perceraian dan hiruk pikuknya masalah rumah tangga yang dihadapi warga perkotaan. Juga tentang teman yang mencintai seni tatoo dengan banyak sekali tatoo bertema religius di tubuhnya.
Malam itu saya belajar hikmah mengenai level of acceptance.
Bahasan yang cukup berat yang beberapa kali membuat mata saya berkaca-kaca di temaram lampu minyak di tengah syahdunya alam Kampung Cibeo.
Perbincangan kami berakhir karena mata sudah mulai lelah. Udara semakin malam semakin menusuk, sleeping bag tebal yang membuat gendut backpack saya akhirnya berguna malam itu. Kami pun tertidur pulas.
Pagi hari sekali kami sudah bangun untuk sarapan dan bergegas pulang. Sebelum pulang kami sempat mampir ke salah satu rumah tetangga yang baru saja melahirkan, ah lucunya, seorang bayi imut yang masih berumur beberapa jam saja. Ibunya masih tampak kelelahan, seorang ibu muda berumur kisaran 15 tahun, walau terlihat lelah namun kebahagiaan tampak tersirat dari matanya. Kami juga sempat ditunjukkan rumah Pu'un yang lokasinya cukup menjauh dengan palang kayu menyilang.
Perjalanan pulang kami melalui trek yang berbeda karena kami akan mengunjungi jembatan akar yang legendaris. Sebuah jembatan bambu yang menjadi luar biasa karena disulam oleh akar pohon yang tumbuh di sisi sungai. Perjalanan pulang pun lebih sulit karena trek yang dilalui adalah trek di sisi jurang dan tanjakan serta turunannya lebih curam daripada ketika berangkat, jadi siapkan kaki yang lebih kuat, hehehe.
 |
Artistiknya jembatan akar |
Sebelum berpisah kami memberikan sejumlah rupiah dan terima kasih tak terhingga sebagai imbalan atas jasa mereka selama 2 hari menjadi host, porter, koki sekaligus guide untuk kami. Saya pun sempat berpesan jika mereka main ke Jakarta atau Bogor, wajib mengontak saya. Oiya untuk memudahkan komunikasi dengan para tamu dan mantan tamu, mereka diperbantukan dengan handphone yang hanya mereka gunakan ketika sudah berada di luar Baduy.
 |
Terima kasih Bapak dan Akang :) |
Kanekes, terima kasih atas pelajaran berharga yang saya dapatkan.
Setiap tempat yang kita kunjungi dan setiap perjalanan yang telah kita lalui, sedikit banyak akan mengubah kita.
Pada akhirnya kita tidak akan pernah sama seperti sebelumnya.
Foto :
Dokumentasi Pribadi