Rabu, 29 Juni 2016

Kami Travelling Bukan Karena Kami Mampu, Tapi Karena Butuh


Bagi kalian yang berasumsi bahwa mereka yang kerap kali menghabiskan waktu dengan liburan atau travelling ke seluruh penjuru bumi dan menganggap bahwa kami memiliki banyak uang. Ya, terimakasih jika berasumsi kami memiliki banyak uang. Pernahkah kalian bertanya bagaimana perasaan kami dengan hujatan seperti itu. Kami hanya sedang menikmati perjalanan hidup dengan memberinya sedikit tambahan bumbu penyedap rasa, sebab kehidupan terlalu tampak sulit jika dilalui dengan keseriusan. Santai guys. 
Kehidupan serasa tragedy jika terlalu menahan diri, sesekali nikmati hari-hari yang tak bisa kembali ini. 
Baiklah, mungkin sekali dua kali kami bisa menerima tapi kesekiannya kami sungguh merasa tak dimengerti. Kami hanya terlalu mensyukuri segala indah yang Tuhan cipta, salahkah kami menikmati jerih payah setahun bahkan bertahun-tahun tanpa sesekali menghirup kebebasan diri?  Jangan terlalu berprasangka, kami tidaklah sekaya dan seboros itu dalam menghabiskan jerih payah kami. Andai kalian mengerti kami, butuh berbulan-bulan bagi kami menyisihkan keringat untuk sekedar menikmati senja di kota sana. 
Kami berjuang untuk itu.
Travelling bukan sekadar menghilangkan kejenuhan saja bagi kami tapi sebagai peningkat kemampuan diri dan mengistirahatkan kepala sejenak dari hiruk pikuk duniawi. 
Sebab hidup sudah terlalu terburu-buru mengejar waktu ke waktu, detik ke detik dan menit ke menit. Berhentilah sejenak dan nikmati wangi bunga yang bermekaran di pagi hari. 
Daripada meributkan kehidupan kami yang serba biasa ini, kenapa tak mencoba menikmati perjalanan kalian sendiri sebab waktu adalah satu-satunya hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Dan bumi ini indah, nikmati sesekali. Karena penyesalan akan hari yang tak kembali suatu masa akan menggerogoti nadimu. Salam dari bawah langit yang berbeda.

Repost from :
http://www.hipwee.com/opini/kami-travelling-bukan-karena-kami-mampu-tapi-karena-butuh/
Foto :
Dokumentasi Pribadi

Minggu, 05 Juni 2016

Kanekes : Sebuah Perjalanan dan Pelajaran Hidup

Menjalani kehidupan dalam kesederhanaan, jauh dari hiruk pikuk kota besar, melepaskan penat, menyatu dengan alam, tanpa gadget, sinyal dan listrik. Pengalaman inilah yang saya dapatkan ketika berkunjung ke Kanekes. Ya, dua hari hidup bersama Urang Kanekes atau biasanya lebih terkenal dengan Suku Baduy, suku mandiri yang bermukim di kawasan Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sungguh pengalaman yang sepertinya memang harus dirasakan oleh orang-orang masa kini yang selalu tertunduk menatap layar handphone, tanpa senyum tanpa sapa, sibuk masing-masing dengan dunianya yang penuh kepenatan, tergerus waktu.

Bersama Urang Kanekes
Perjalanan kami mulai dari Stasiun Tanah Abang dilanjut kereta hingga Rangkasbitung dan angkutan elf hingga terminal terakhir di Desa Ciboleger. Di perhentian terakhir inilah kami dijemput oleh seorang bapak muda, sebut saja Kang Santa bersama ayahnya (maaf saya lupa namanya) dan si kecil Salia yang katanya merengek dan merajuk ingin ikut menjemput kami. Mereka lah sang host, yaitu Suku Baduy Dalam yang akan menjadi guide kami selama berada di sana. Mereka fasih berbahasa Indonesia, tapi jika bisa berbahasa Sunda, ajaklah mereka berbincang menggunakan Bahasa Sunda, rasanya akan lebih akrab, hehehe.
Selamat datang di Ciboleger
Hujan pun turun, setelah mengisi perut di salah satu warung, kami dengan serta merta memakai jas hujan. Perjalanan yang katanya kurang lebih 5 jam naik turun gunung harus kami lalui untuk sampai di Kampung Cibeo, rumah yang akan dijadikan tempat menginap kami selama 1 malam. Hujan yang turun dengan deras membuat trek yang kami lalui sangat licin, terlebih ini adalah minggu kedua Suku Baduy mempersilahkan tamu untuk berkunjung setelah selama 3 bulan ditutup untuk umum karena sedang ada perayaan, istilahnya sedang ada hari raya lebaran untuk mereka. Pastinya jalan yang dilalui akan muncul lumut-lumut. Mereka menawarkan diri untuk membawa barang bawaan kami, saya tidak menolak hehehe, anggap saja untuk meringankan beban dan berbagi rejeki, mereka juga tidak mematok harga, jadi berikan saja sepantasnya, dilebihkan tentunya lebih baik.

Kang Santa membawakan barang kami
Sebetulnya untuk mencapai Kampung Cibeo banyak sekali jalur yang bisa dilalui, beruntung karena kami hanya sedikit, sang tuan rumah menuntun kami melalui jalur yang jarang sekali dilalui oleh tamu, yaitu jalur Danau Gangga Ageng. Sebelum memulai perjalanan kita akan melalui kampung Suku Baduy Luar, disini kita bisa membeli pernak-pernik buatan mereka. Suku Baduy luar sudah mengenal teknologi dan menggunakan pakaian adat warna hitam atau biru tua, terkadang mereka juga menggunakan pakaian modern biasa seperti kaos oblong.
Kerajinan tangan warga Baduy Luar
Sepanjang perjalanan, si kecil Salia menuntun dengan berjalan di depan, ia berjalan dengan mantap kadang berlari-lari kecil. Tubuhnya masih sangat imut namun kaki nya sangat kuat, tidak pernah mengeluh lelah, ah mereka pasti sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh sejak usia dini.


Si kecil Salia yang tangguh
Trek yang dilalui memang luar biasa, Pegunungan Kendeng yang naik turun begitu terjal dan tentunya licin. Terjatuh terpeleset menjadi hal yang biasa untuk kami, saling menertawakan dan membantu, alhamdulillah walaupun belum lama mengenal mereka (bahkan 1 orang baru kenal) tapi saya bertemu dengan partners yang amat sangat menyenangkan, mereka tidak pernah mengeluh bahkan sedikit pun dan tentunya mau berada dalam kondisi sulit dan saling support. Kami sempat mampir ke Danau Gangga Ageng, sebuah danau cantik di balik Pegunungan Kendeng, dengan airnya yang berwarna kehijauan dan dikelilingi oleh pohon-pohon aren. Katanya jarang sekali tamu yang bisa mampir kesini, alhamdulillah kami berkesempatan.


Danau Gangga Ageng
Hujan terus mengguyur sepanjang perjalanan, jika hujan berhenti dan berada di ketinggian maka akan nampak deretan bukit-bukit yang terselimut kabut, ah cantiknya. Di sepanjang perjalanan, kita akan menemui banyak sekali aliran air yang sangat jernih, sesekali bolehlah berhenti untuk sekedar bermain air. Hal yang unik yang ditemui di perjalanan adalah ketika bertemu binatang macam cacing dan kaki seribu. Ukurannya sungguh luar biasa, super besaaaaaar, hahaha. Saya seringkali berteriak dan bergidik ngeri ketika melihatnya. Semacam memang ditunjukkan bahwa alam Kanekes masih sangat alami dan sangat subur. Saya juga sempat melihat cacing besar dan panjang berwarna kebiruan, nama cacing ini Metaphire Longa atau Cacing Sonari. Penasaran seperti apa? Silakan googling, karena saya tidak berani untuk mengambil gambar, super geli, hiiiiiii.
Pegunungan Kendeng yang berselimut kabut
Perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam berupa tanda yang terbuat dari janur. Kang Santa memberi tahu ketika sudah di perbatasan dan menjelaskan bahwa setelah memasuki kawasan Baduy Dalam kami dilarang memotret. Kami pun patuh, mematikan handphone dan kamera lalu kami masukkan ke dalam tas masing-masing.

Tak terasa perjalanan yang seharusnya kami lalui selama 5 jam bisa kami tempuh lebih cepat yaitu 3 jam saja, alhamdulillah bisa sampai dan beristirahat lebih cepat. Kami akan tinggal di rumah Kang Santa, di rumahnya sudah ada istri dan anak perempuannya yang bungsu. Kami beruntung, rumah Kang Santa berada di samping sungai yang bisa digunakan untuk bersih-bersih dan buang air. Kampung Cibeo ini dikelilingi oleh sungai yang airnya mengalir deras, ada bagian sungai yang digunakan untuk minum, untuk mandi dan untuk buang air, tentunya dipisahkan. Rumah Urang Kanekes adalah tipe rumah panggung yang terbuat dari bilik kayu, di dalam rumah ada tungku dari tanah liat.

Sore itu saya memilih untuk tidak mandi karena lumayan dingin seharian terguyur hujan, salah satu rekan kami yang pria dengan semangat 45 membuka baju dan terjun ke air, katanya kapan lagi bisa mandi di sungai dengan bebas, hehehe. Sebetulnya sungainya sangat jernih, hanya karena habis hujan jadi agak keruh. Di sini kita tidak boleh menyalakan alat elektronik, kecuali senter untuk membantu penerangan, tidak boleh mengotori air dan tanah dengan zat kimia, jadi kalau mau sikat gigi atau mandi tidak boleh pakai sabun ya.

Istri Kang Santa langsung menyiapkan hidangan untuk kami makan malam, hari masih terlalu sore tetapi badan sudah cukup lelah, baju pun basah kuyup bercampur antara keringat dan hujan, jadi saran saya bawalah baju ganti agak banyak. Sore itu saya habiskan dengan bersih-bersih dan mengobrol dengan rekan seperjalanan, tentunya meluruskan kaki dan badan yang sudah bekerja keras berjalan sangat jauh. Sambil menunggu makan malam, kami juga sibuk memilih barang dagangan buatan Urang Kanekes, dari mulai gelang, gantungn kunci, gelas bambu, dan kain tenun. Saran saya, bawalah uang cash agak banyak karena saya cukup menyesal tidak bisa banyak membeli karya tangan mereka. Uang yang cukup terbatas membuat saya hanya bisa menjatuhkan pilihan pada sepotong syal tenun berwarna pink-biru dan 2 botol madu. 

Sistem barter memang sudah tidak ada di antara Urang Kanekes, jadi mereka sudah mengenal mata uang. Penjualan barang-barang ini juga sebagai tambahan pendapatan untuk mereka. Walaupun sudah mengenal mata uang, tetapi mereka tidak melakukan tawar menawar dalam kegiatan jual beli. Ah lagian untuk apa kita menawar harga, harga yang mereka berikan jauh-jauh dari kata pantas sebetulnya. Sangat murah untuk sebuah karya. Terutama kain tenun yang dihargai sangat murah untuk ukuran kain yang ditenun secara tradisional, perlu berhari-hari bahkan berbulan pastinya untuk menyelesaikan. JIka berkesempatan ke Baduy, belilah barang-barang jualan mereka. Bagus-bagus dan cantik.

Hari mulai malam, namun di luar tampak terang benderang, ah bulan purnama tampaknya. Namun udara yang sangat dingin membuat kami masuk ke dalam rumah untuk menghangatkan badan, kali itu Cibeo cukup banyak kedatangan tamu, bahkan hingga hari gelap masih banyak rombongan yang baru tiba. Makan malam sudah siap, kami pun duduk melingkar makan malam sambil berbincang-bincang. Rapat. Hangat. Suasana yang amat sangat menyenangkan yang jarang ditemui saat ini. Tanpa kepala yang tertunduk ke arah handphone untuk sekedar melihat sosial media. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.

Bahkan ketika makan malam sudah habis, kami masih melanjutkan perbincangan hingga larut malam. Kami warga kota dan tuan rumah sang Urang Kanekes, duduk berdampingan, saling bercerita. Tapi memang harus kita yang lebih aktif bertanya karena mereka cenderung pemalu, hehehe.

Malam itu saya belajar banyak hal.

Mengenai adat istiadat dan kehidupan Urang Kanekes :
  • Prinsip mereka sangat teguh, mereka sama sekali tidak berkeinginan dan memiliki hasrat kebendaaan dan keduniawian. Sungguh luar biasa mereka bisa dengan nikmatnya hidup dalam kesederhanaan dan menyatu dengan alam. Damai dan tentram, tidak memiliki ambisi terhadap sesuatu yang amat sangat jarang ditemui saat ini. Tidak pernah ada perkelahian, pertengkaran, apalagi tindakan kriminal. Hidup rukun, damai, tenteram.
  • Pernikahan mereka adalah melalui perjodohan, jadi setiap orang yang dijodohkan harus menerima pasangannya sebagai pasangan hidup, sehidup semati karena mereka tidak mengenal perceraian.
  • Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam saling berbagi dan hidup rukun, apa yang ditanam di ladang Baduy Luar tidak boleh ditanam oleh Baduy Dalam, begitu pun hasil kerajinan tangan, untuk saling melengkapi katanya.
  • Setiap mereka bukannya takut untuk melanggar hukum adat, tetapi karena memang sudah tidak ada keinginan untuk melakukannya, misalnya : naik angkutan umum. Tidak pernah tergoda sedikit pun untuk mencicipi, bukan karena takut, hanya karena tidak mau.
  • Mereka tidak mengenal kompleks pemakaman, bila ada yang meninggal dikuburkan dan makamnya tidak diberi gundukan atau tanda, jadi bisa digunakan kembali untuk ladang.
  • Mereka dipimpin oleh ketua adat disebut Pu'un yang tidak bisa ditemui oleh sembarang orang. Rumahnya agak terpisah jauh dan eksklusif dengan palang kayu yang menyilang, pertanda tidak sembarang orang boleh menemui dan berkunjung.
  • Jika mereka mencintai orang di luar Baduy Dalam dan ingin menikahi, maka diwajibkan untuk keluar dari Baduy Dalam dan sudah tidak lagi menjadi warga Baduy Dalam.
  • Proses pembangunan rumah tidak menggunakan alat bantu seperti paku dan gergaji, dibuat secara bergotong royong.
  • Perjalanan mereka ke Jakarta menempuh waktu selama 3 hari dengan berjalan kaki, biasanya mereka membawa barang dagangan untuk dijual kepada teman-teman yang sebelumnya pernah bertamu ke Kanekes, jadi tidak dijual sembarangan di pinggir jalan, hehe jadi bisa bedakan ya mana Urang Kanekes yang asli mana yang palsu?
dan masih banyak sekali hal yang kami bisa pelajari dari adat istiadat dan keseharian mereka yang sungguh luar biasa.

Kami pun banyak bercerita tentang pekerjaan dan keseharian kami, ada rekan yang bekerja sebagai aktivis anak-anak berkebutuhan khusus, ia banyak bercerita mengenai bagaimana realita yang harus dihadapi para orang tua yang dianugerahkan anak yang spesial. Ada juga rekan yang berprofesi sebagai notaris, ia banyak bercerita mengenai realita perceraian dan hiruk pikuknya masalah rumah tangga yang dihadapi warga perkotaan. Juga tentang teman yang mencintai seni tatoo dengan banyak sekali tatoo bertema religius di tubuhnya.

Malam itu saya belajar hikmah mengenai level of acceptance.

Bahasan yang cukup berat yang beberapa kali membuat mata saya berkaca-kaca di temaram lampu minyak di tengah syahdunya alam Kampung Cibeo.

Perbincangan kami berakhir karena mata sudah mulai lelah. Udara semakin malam semakin menusuk, sleeping bag tebal yang membuat gendut backpack saya akhirnya berguna malam itu. Kami pun tertidur pulas.

Pagi hari sekali kami sudah bangun untuk sarapan dan bergegas pulang. Sebelum pulang kami sempat mampir ke salah satu rumah tetangga yang baru saja melahirkan, ah lucunya, seorang bayi imut yang masih berumur beberapa jam saja. Ibunya masih tampak kelelahan, seorang ibu muda berumur kisaran 15 tahun, walau terlihat lelah namun kebahagiaan tampak tersirat dari matanya. Kami juga sempat ditunjukkan rumah Pu'un yang lokasinya cukup menjauh dengan palang kayu menyilang.

Perjalanan pulang kami melalui trek yang berbeda karena kami akan mengunjungi jembatan akar yang legendaris. Sebuah jembatan bambu yang menjadi luar biasa karena disulam oleh akar pohon yang tumbuh di sisi sungai. Perjalanan pulang pun lebih sulit karena trek yang dilalui adalah trek di sisi jurang dan tanjakan serta turunannya lebih curam daripada ketika berangkat, jadi siapkan kaki yang lebih kuat, hehehe.


Artistiknya jembatan akar
Sebelum berpisah kami memberikan sejumlah rupiah dan terima kasih tak terhingga sebagai imbalan atas jasa mereka selama 2 hari menjadi host, porter, koki sekaligus guide untuk kami. Saya pun sempat berpesan jika mereka main ke Jakarta atau Bogor, wajib mengontak saya. Oiya untuk memudahkan komunikasi dengan para tamu dan mantan tamu, mereka diperbantukan dengan handphone yang hanya mereka gunakan ketika sudah berada di luar Baduy.


Terima kasih Bapak dan Akang :)
Kanekes, terima kasih atas pelajaran berharga yang saya dapatkan.

Setiap tempat yang kita kunjungi dan setiap perjalanan yang telah kita lalui, sedikit banyak akan mengubah kita.

Pada akhirnya kita tidak akan pernah sama seperti sebelumnya.


Foto :
Dokumentasi Pribadi

Sekeping Surga di Bawah Kaki Langit

Di bawah kaki langit, kami berada
Perjalanan ini kami tempuh selama kurang lebih 3 jam melalui hutan hujan yang lebat. Trek yang dilalui sebetulnya tidak terlalu sulit, hanya saja dengan trek yang serupa membuat cukup bosan dan rasanya kok tidak kunjung sampai ke tujuan. Hutan lebat yang rimbun dan sedikit terkena cahaya matahari membuat hampir seluruh bagian pepohonan ditumbuhi lumut dengan suburnya. Semak-semak yang sangat lebat mengiringi sepanjang perjalanan, tak heran jika hutan ini memang masih menjadi habitat harimau dan babi hutan. Beruntung kami tidak bertemu.
Sekeping surga di bumi
Di pertengahan jalan kita akan menemukan sungai kecil yang mengalir jernih, ambil saja air ini untuk persediaan air minum selama perjalanan. Jika sudah menemukan trek dengan turunan yang sangat curam dan semak-semak yang semakin rapat, tandanya sudah dekat dengan tujuan, bahkan dari atas turunan curam tersebut sudah mulai terlihat kehijauan di balik pepohonan.


Sebuah padang rumput hijau nan luas menyambut kami. Hijau segar berbukit-bukit dan dikelilingi hutan dan pegunungan. Sejauh mata memandang, indahnya masyaallah. Di tengah hamparan bukit-bukit rumput tersebut mengalirlah sebuah sungai kecil dengan air yang sangat jernih, inilah lokasi sumber air di kawasan ini.

Inikah salah satu kepingan surga di muka bumi? Masya Allah.

Moment terindah terjadi ketika pagi menyapa.

Kabut putih menyelimuti
Kabut putih tebal dari pegunungan mulai turun membasahi rerumputan. Cantik. Matahari dari timur beranjak naik di antara pegunungan, cahaya nya memantul di rerumputan yang mampu meningkatkan saturasi warna hijau yang luar biasa indahnya.

Hangat mentari menyapa alam
Bahkan kalimat-kalimat di atas masih belum mampu menggambarkan keadaan sesungguhnya. Namun, keindahan surga dunia ini memang tidak bisa dinikmati oleh setiap orang. Biarkan ia tetap terjaga dari tangan-tangan jahil manusia dan dan biarkan ia tetap indah seperti mulanya.

Jika ditanya, apakah saya ingin kembali suatu hari nanti.

Saya akan dengan mantap menjawab "Tidak"

Bukan, bukan karena kapok dengan perjalanannya.

Untuk sebuah alasan, cukup satu kali saya berada di sana, biarkan memori yang menyimpan dan mengingat setiap rasa.

Foto :
Dokumentasi pribadi

Untukmu, Pengelana yang Membuatku Jatuh Cinta

Hei, apa kabarmu, gadis yang selalu berkelana mengikuti ke mana langkah kaki membawanya?


Kita bertemu di tempat-tempat sederhana. Persinggunganku denganmu merupakan mukjizat yang tak terduga
Di antara probabilitas yang tak terbatas mengenai persinggungan garis takdir antar manusia di alam semesta, ternyata Tuhan menakdirkanku untuk berjumpa denganmu. Bukan di tempat-tempat gaul macam mal atau kafe waralaba, melainkan di sebuah warung kopi sederhana berdinding bambu dan beratap nyiur di tepian surga yang lengkap dengan deburan ombaknya.
Aku masih ingat dengan jelas rambutmu yang kecoklatan terbakar matahari itu digelung ala kadarnya. Dan warna kulitmu, kulit yang bersahabat dengan matahari, tampak belang di sana-sini. Ketika biasanya gadis-gadis seusiamu berusaha tampil cantik merawat diri dengan berbagai produk perawatan pencerah kulit, kamu tampak tak terlalu peduli. Beberapa goresan luka yang menghias bahkan membuatmu bangga.
"Masing-masing luka ini punya cerita." ujarmu
Tentu saja aku tak bisa membantah hal itu. Memang bekas luka adalah tato yang punya kisahnya sendiri. Di saat orang lain melihat kulit dan rambutmu sebagai kekurangan—mungkin dengan celetukan-celetukan, “Ih, kulitmu kok item sih,” atau “Rambutmu kok kayak anak alay sih, merah gitu.”— justru keunikan itulah yang membuatmu istimewa.
Di balik penampilanmu yang sederhana, kamu menyimpan pengalaman yang begitu kaya.
Penampilanmu memang sederhana, bajumu juga cuma yang itu-itu saja. Tapi, kamu sama sekali tak merasa kekurangan. Ketika aku bertanya kenapa kamu cuma punya sedikit baju,
Semua yang aku butuhkan udah ada di sini,” jawabmu sambil menepuk-nepuk ransel yang tidak seberapa besar itu.
Lalu kisah-kisah petualangan pun meluncur dari mulutmu, membuatkku hanya bisa terdiam takjub. Aku yang sejak lama terbiasa dengan hidup yang sistemik dan hanya traveling sesekali, sama sekali tak ada apa-apanya dibandingkan denganmu yang sudah menggeluti traveling sejak dulu. Di usia yang masih begitu muda, kamu punya berjuta pengalaman luar biasa untuk diceritakan, membuatku hanya bisa melongo kagum mendengarkan. Jangan, jangan mengajakku beradu cerita tentang hal-hal paling gila yang pernah kita lakukan selama hidup. Kita berdua sama-sama tahu siapa juaranya.
Mendekatimu sempat membuatku kelimpungan. Membuatmu terkesan bukanlah pekerjaan yang ringan.
Serius, aku kelimpungan di tahap ini.
Berbeda dengan sebagian besar gadis-gadis yang umumnya kujumpai, kamu tidak terlihat antusias ketika aku mengajakmu makan malam dan nonton bioskop di mal. Kamu lebih senang jalan-jalan dengan motor tuaku, blusukan cari tempat makan yang unik dan jarang dilirik orang.
Aku juga pernah sekali dibuat bingung saat memilihkan hadiah buatmu. Kamu tak begitu tertarik dengan baju bagus, tas bermerk, maupun hal-hal yang berbau mewah lainnya. Tapi, lantas aku sadar, bagimu, tak ada yang lebih bernilai dari sebuah perjalanan— hadiah yang sempurna bagi jiwamu yang bebas.
“Suatu saat, kamu mungkin bakalan bosan sama bajumu, tasmu, jam tangan mahalmu. Mereka juga bisa rusak atau hilang dimaling orang. But good memories stay. Mereka akan selalu tinggal dalam benakmu dan gak akan habis dibagikan ke orang-orang.”
Jujur saja. Kamu begitu mudah membuatku terkesima.
Aku selalu suka saat kita duduk membicarakan masa depan. Jawaban yang keluar dari mulutmu sungguh sangat di luar dugaan.
“Aku kini sedang menapaki impianku, meski jalanku gak melulu mulus. Apa kamu sudah menjalani sesuatu yang kamu impikan?”
Pertanyaan yang kamu lontarkan balik membuatku tertegun. Maksudku, aku merasa nyaman dengan hidupku; aku merasa tercukupi olehnya. Tapi, apakah itu benar-benar mimpiku? Aku bahkan tak pernah memikirkannya. Sementara, kamu rela meninggalkan rumah dan pekerjaan yang mengharuskanmu duduk selama berjam-jam demi petualangan dan pengalaman baru. Tempat kerjamu bukan lagi gedung perkantoran mewah, melainkan setiap tempat yang kamu singgahi. Apa yang kamu lakukan kini bahkan mungkin gak selaras dengan titel sarjana yang tersemat di belakang namamu.
Tapi, dibalik kegiatanmu yang tampak utopis: berpindah dari satu tempat eksotis ke tempat eksotis lain, bersenang-senang, dan menjumpai orang-orang baru di setiap tikungan jalan, kamu bekerja keras untuk itu, menjadi seorang freelancer. Mendesain, menulis, jadi instruktur yoga—apapun yang bisa kamu kamu lakukan untuk menyambung hidup dan membiayai perjalananmu selanjutnya.
Masa depan belum kamu raba dengan pasti. Tapi, kamu melakukan semua itu demi menapaki impianmu sendiri. Ah, mungkinkah diriku bisa menjadi salah satu bab darinya?
Kegemaranmu berjalan membuka mataku tentang arti rumah dan kenyamanan. Dua hal itu ternyata bisa diciptakan.
Bagi sebagian orang, rumah adalah tempat tujuan untuk pulang; tempat yang nyaman untuk ditinggali dan membentuk sebuah keluarga. Tapi, bagimu rumah bukanlah properti yang kasat mata. Apa yang kamu sebut rumah kamu temukan di tiap sudut perjalananmu.
“Aku traveling bukan karena ingin pergi sejauh-jauhnya dari rumah—tempatku berasal. Aku pergi karena aku ingin menemukan rumah—tempat singgah di mana aku menemukan keluarga-keluarga baru yang mengajarkanku banyak hal.”
Ah, bagaikan paus pengelana yang mengarungi lautan dan menganggap samudera adalah rumahnya, kamu memandang rumah dan keluarga dengan sudut pandang yang berbeda. Bagimu, keluarga tak hanya sekadar manusia-manusia yang dipersatukan oleh hubungan darah; mereka adalah orang-orang yang memberi makna bagimu sepanjang jalan.
Ya, kehangatan mereka adalah rumah impian bagimu.
Mencintaimu selalu penuh paradoks yang tak terelakkan. Tersesat dan lelah sudah jadi kebiasaan. Melepasmu sewaktu-waktu pun harus siap kulakukan. Dan anehnya, aku tak pernah keberatan
Kamu adalah pribadi yang begitu kukagumi— kuat, cerdas, dan mandiri. Kamu seperti burung yang terbang bebas, sendirian tapi tak pernah kesepian. Kamu haus dengan rasa ingin tahu. Dahaga yang cuma mampu terpuaskan oleh penjelajahan.
Aku selalu kagum dengan punggungmu. Punggung yang selalu menuntunku di setiap perjalanan. Kamu selalu tahu ke mana mesti membawaku. Meski tak jarang kita tersasar, aku tak pernah menyesal tersesat bersamamu.
Lalu aku pun terkesiap saat akhirnya menyadari satu hal. Jiwamu yang bebas itu takkan pernah bisa kutahan lajunya. Suatu hari, kamu akan pergi ke tempat baru nan asing, dengan atau tanpa diriku. Yang mesti kulakukan agar tetap bisa bersamamu adalah menyamakan langkah denganmu.

Mencintaimu, berarti juga harus memiliki keberanian untuk melepasmu.
Tak mengapa, aku rela. Menahanmu di satu tempat seperti menahan laju rotasi bumi. Rasa ingin tahumu akan sekarat jika lajunya ditahan, dan kamu takkan pernah menjadi orang yang sama lagi. Orang yang kucintai karena kemandiriannya.
Biarkan aku yang berusaha menyamakan langkah. Suatu hari, mungkin aku malah bisa menyusulmu. Tak lagi melihat punggungmu tapi juga bisa berjalan bersisian. Sampai saat itu tiba, aku akan berusaha sekuat tenaga, sampai takdir mempertemukan kita kembali di suatu tempat istimewa di bumi ini. Dan kita takkan terpisahkan lagi.

Hey Paulus Risang, i really loves your words!

Repost From :
http://www.hipwee.com/travel/untukmu-pengelana-yang-membuatku-jatuh-cinta/ 
Foto :
Dokumentasi Pribadi